Kemudian, bagaimana wanita haid menghidupkan malam lailatul qadar? Dalam Lathaif al-Ma'arif halaman 341, disebutkan Juwaibir pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada adh-Dhahak, "Bagaimana pendapatmu dengan wanita nifas, haid, musafir, dan orang yang tidur (namun hatinya dalam keadaan berzikir), apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?"
Adh-Dhahak pun menjawab, "Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Siapa saja yang Allah terima amalannya, dia akan mendapatkan bagian malam tersebut."
Dari riwayat ini menunjukkan bahwa wanita haid, nifas, serta musafir tetap bisa mendapatkan bagian lailatul qadar. Namun, karena wanita haid dan nifas tidak boleh melaksanakan salat ketika kondisi seperti itu, dia boleh melakukan amalan ketaatan lainnya, di antaranya membaca Al-Qur'an tanpa menyentuh mushaf, berzikir dengan memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (Laa Ilaha Illallah), tahmid (Alhamdulillah) dan zikir lainnya, memperbanyak istighfar, serta memperbanyak doa dan amalan lain yang disyariatkan.
Ketiga,
Mencari lailatul qadar itu pada 10 malam yang terakhir. Dari Aisyah berkata, "Adalah Nabi SAW biasa mencari lailatul qadar pada 10 malam yang terakhir." (HR Bukhari no. 1880)
Keempat,
Mencari lailatul qadar itu pada 10 terakhir tersebut terutama pada malam-malam witir-nya (ganjilnya). Dari Aisyah, "Adalah Nabi SAW mencari lailatul qadar pada malam-malam witir di 10 hari terakhir." (HR Bukhari no.1878)
Kelima,
Hadits paling seringnya tentang lailatul qadar adalah tanggal 27, tetapi juga tanggal 23-nya. Dari Abdullah bin Unais, Nabi SAW bersabda, "Aku melihat lailatul qadar lalu aku dibuat lupa waktunya, dan ditampakkan padaku saat Subuhnya aku sujud di tanah yang basah, lalu kata Abdullah: Maka turun hujan atas kami pada malam 23, maka Nabi SAW salat Subuh bersama kami, lalu beliau pulang dan tampak bekas air dan tanah di dahi dan hidung beliau SAW, lalu dikatakan: Maka Abdullah bin Unais berkata tanggal 23 itulah lailatul qadar." (HR Muslim no. 1997)
Keenam,