Pernyataan Pedas Gubernur Helmi Tuai Kecaman: DPRD Balik Sindir, Jangan Pecah Belah Lembaga!

DPRD Provinsi Bengkulu--
RADAR BENGKULU – Hubungan antara Gubernur Bengkulu Helmi Hasan dan sejumlah anggota DPRD Provinsi Bengkulu sedang memanas. Penyebabnya bukan soal proyek mangkrak atau dana hibah, melainkan ucapan Gubernur yang dinilai menyulut api di tengah rapuhnya komunikasi antarlembaga Daerah ini.
Pernyataan Gubernur yang menyebut, “Kalau sudah WO, tidak usah kembali lagi. Kata rakyat seperti itu, tidak usah WO sehari dua hari, tapi selama-lamanya, sampai kiamat bila perlu,” saat menanggapi aksi walk out (WO) anggota dewan, dianggap melewati batas etika seorang pemimpin.
“Pernyataan seperti itu tidak pantas keluar dari seorang kepala daerah. Apalagi dengan embel-embel ‘kata rakyat’. Itu bisa memperkeruh hubungan eksekutif dan legislatif,” kritik Ketua Fraksi Gerindra DPRD Provinsi Bengkulu H. Suharto, SE, MBA, kepada Wartawan
BACA JUGA:Tunggu Dilantik, Ini Program 100 Hari Kerja Rifai-Yevri
BACA JUGA:Ribuan Jamaah Indonesia Gagal Berangkat, Pengajuan Visa Haji Sudah Ditutup 26 Mei
Menurut Suharto, aksi walk out dalam sidang paripurna merupakan bagian sah dalam demokrasi. Dalam sistem presidensial, dewan memang memiliki hak untuk menyampaikan keberatan, bahkan lewat aksi simbolik seperti WO. Hal ini dilindungi oleh konstitusi dan pernah terjadi juga di DPR RI, tanpa harus ditanggapi dengan pernyataan emosional.
“Kami ini wakil rakyat, tentu punya tanggung jawab moral untuk bersikap ketika ada hal-hal yang dinilai perlu dikritisi. Tapi ketika gubernur menyatakan seolah kami tak boleh kembali, itu seperti menutup ruang dialog,” lanjutnya.
Tak hanya menyoal substansi, gaya komunikasi Gubernur juga dipertanyakan. Sebab, sebagai kepala daerah, Helmi Hasan seharusnya merangkul, bukan menghardik.
“Kalau pemimpin justru mengeluarkan kalimat tajam dan berpotensi mempermalukan lembaga lain, ini bukan lagi dinamika demokrasi, tapi sudah masuk ranah destruktif. Jangan sampai rakyat jadi bingung karena pemerintah sendiri tidak kompak,” sindir Suharto.
Ia mengingatkan, DPRD dan Pemerintah Provinsi adalah dua sisi mata uang dalam sistem pemerintahan daerah. Perbedaan pandangan seharusnya menjadi ruang dialog, bukan bahan bakar konflik. Terlebih, sejumlah persoalan strategis Bengkulu—mulai dari infrastruktur, kemiskinan, hingga pelayanan publik—justru menuntut kekompakan dua lembaga ini.
BACA JUGA:Senam Masal Peringati Milad Aisyiyah ke-108 Tahun Berlangsung Meriah
“Negara ini punya Pancasila dan UUD 1945. Perbedaan adalah keniscayaan. Tapi cara menyikapinya harus dewasa. Bukan dengan kalimat emosional apalagi bawa-bawa rakyat untuk membenarkan diri,” tegas Suharto.
Bahkan, Suharto menyebut, bila gubernur ingin mengklaim suara rakyat, seharusnya ia juga bersedia mendengar suara kritis dewan yang juga merupakan representasi rakyat.