Warga Mengeluh, Penyeberangan ke Pulau Enggano Lumpuh Lagi

Warga Mengeluh, Penyeberangan ke Pulau Enggano Lumpuh Lagi--

RADAR BENGKULU – Aktivitas penyeberangan ke Pulau Enggano lumpuh total sejak 27 April lalu. Kapal Motor Penumpang (KMP) Pulo Tello yang menjadi satu-satunya armada reguler penghubung antara Pulau Baai dan pulau terluar Bengkulu itu tak lagi berlayar akibat kekosongan bahan bakar minyak (BBM). Ironisnya, hingga kini belum ada solusi konkrit dari pihak berwenang.

Kepala Supervisi Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) KMP Pulo Tello, Radmiadi membenarkan bahwa kapal telah berhenti beroperasi karena kehabisan BBM.

"Terakhir kami berlayar pada 27 April. Setelah itu tidak bisa lagi menyeberang karena tidak ada pasokan minyak," ujar Radmiadi.

Menurutnya, pengisian BBM melalui jalur darat ke lokasi kapal yang tengah lego jangkar di luar alur pelabuhan tidak memungkinkan. Untuk satu kali perjalanan pulang-pergi, kapal ini membutuhkan sekitar 10.000 liter solar. Kondisi ini semakin parah akibat pendangkalan alur Pelabuhan Pulau Baai yang membuat kapal tidak bisa bersandar.

BACA JUGA:Jaga Instalasi Listrik Demi Keselamatan Bersama, PLN Ajak Masyarakat Waspada

BACA JUGA:Komisi IV DPRD Bengkulu Tinjau SMKN 5 Kepahiang

“Bahkan tugboat yang biasanya digunakan untuk mengangkut penumpang dari dermaga ke kapal sudah tidak bisa melintas, sudah karam. Ini bukan sekadar kendala teknis, tapi sudah menjadi isu keselamatan,” kata Radmiadi.

Ia mengaku telah mencoba berkoordinasi dengan Pertamina dan berbagai pihak untuk mencari solusi, namun belum ada kepastian kapan KMP Pulo Tello bisa kembali berlayar. "Masyarakat dan pemerintah terus bertanya kapan kapal bisa beroperasi lagi. Kami sendiri belum bisa memberi kepastian," ujarnya.

Sementara itu, masyarakat Pulau Enggano menanggung dampak paling parah dari kelumpuhan transportasi laut ini. Perhadi (40), seorang petani pisang di Pulau Enggano, mengungkapkan kesulitan besar dalam mengirim hasil panen maupun memperoleh kebutuhan pokok.

“Petani sampai membuang pisang karena tak ada kapal. Kami kecewa, hasil panen tidak bisa dijual. Padahal itu sumber penghidupan,” kata Perhadi.

Sebagai alternatif, warga terpaksa menyewa kapal ikan berukuran besar yang biasanya digunakan untuk melaut. Namun biaya sewanya sangat mahal, berkisar antara Rp 15 juta hingga Rp 25 juta sekali angkut. Uang itu, kata Perhadi, sepenuhnya berasal dari kantong petani.

“Tidak pernah ada bantuan dari pemerintah, baik provinsi maupun daerah. Selama ini kami bertahan sendiri,” ujarnya getir.

Kondisi ini menyoroti lemahnya infrastruktur dan perencanaan transportasi laut yang seharusnya menjadi tulang punggung konektivitas antarwilayah, terutama ke pulau-pulau terluar. Padahal, sesuai amanat negara, wilayah terisolasi seperti Enggano seharusnya mendapatkan perlakuan khusus dalam hal pelayanan dasar dan aksesibilitas.

Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan tegas dari Pemerintah Provinsi Bengkulu maupun pihak PT ASDP Indonesia Ferry terkait penanganan masalah ini. Pendangkalan alur yang dibiarkan, kurangnya pasokan BBM, serta minimnya dukungan logistik mencerminkan lemahnya koordinasi antarinstansi.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan