Bagaimana Islam Memandang Kebiasaan Makan Sambil Berbicara? Simak Penjelasan Berikut
Bagaimana Islam Memandang Kebiasaan Makan Sambil Berbicara? Simak Penjelasan Berikut-Ist-
وفيه استحباب الحديث على الأكل تأنيسا للآكلين
Artinya: Dalam hadis tersebut tersirat pemahaman tentang kesunahan berbicara atas makanan untuk menggembirakan orang-orang yang makan. (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarh an-Nawawi ala al-Muslim, juz 7, halaman: 14)
Jika ditelisik secara mendalam, rupanya pujian yang dilontarkan oleh Rasulullah SAW dalam hadis di atas beliau ucapkan pada saat sedang beraktivitas menyantap makanan. Atas dasar ini, berbicara pada saat menyantap makanan bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan, bahkan merupakan anjuran tersendiri, sebab merupakan salah satu adab dalam menyantap makanan.
Isi pembicaraan yang baik diucapkan pada saat menyantap makanan tidaklah mencakup semua pembicaraan, tapi hanya tertentu pada pembicaraan-pembicaraan yang baik. Seperti bercerita tentang orang-orang shalih, pembicaraan yang dapat menyenangkan orang-orang yang makan, dan hal lainnya. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab Al-Adzkar an-Nawawiyah:
ـ (باب استحباب الكلام على الطعام) فيه حديث جابر الذي قدمناه في "باب مدح الطعام" . قال الإمام أبو حامد الغزالي في "الإحياء" من آداب الطعام أن يتحدثوا في حال أكله بالمعروف ، ويتحدثوا بحكايات الصالحين في الأطعمة وغيرها
Artinya: Bab kesunahan berbicara atas makanan. Dalam menjelaskan bab ini terdapat hadis Sahabat Jabir yang telah disebutkan di awal dalam bab ‘Memuji makanan’. Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata: Sebagian adab makan adalah berbicara pada saat makan dengan pembicaraan yang baik dan bercerita tentang kisah orang-orang salih dalam hal (menyikapi) makanan dan hal-hal lainnya. (Syekh Syaraf bin Yahya An-Nawawi, Al-Adzkar an-Nawawiyah, juz 2, halaman: 1)
Namun anjuran berbicara pada saat menyantap makanan hendaknya tidak dilakukan pada saat seseorang sedang mengunyah. Sebab hal ini dikhawatirkan akan membuat makanan yang sedang dikunyah jatuh pada makanannya dan mengotori makanan tersebut. Penjelasan tentang hal ini seperti yang dijelaskan dalam syarah kitab Ihya’ Ulum ad-Din, yakni kitab Ittihaf as-Sadat al-Muttaqiin: