“Ay luk apau makan malam ni tini, baghih nian kemarah ninik tini kelau,” ujar Sang Piatu.
“Mapai balik kaba ni Sang Piatu,” ujar Nenek saat melihat Sang Piatu dari kejauhan. Nenek
langsung melihat kearah jari jemari Sang Piatu. Jarinya kosong. Tidak terlihat tanda- tanda cincin secintau adau di sana.
“Manau cincin kaba?” tanya Nenek.
“Uy, itulah nik aku bingung ni. Tadi beteri tu ndak minjam cincin aku, madak pulau aku amau ndik minjaminyau,” jujur Sang Piatu.
“Itulah kaba tu. Caklah aku kicikkah, jangan dibatak,” ujar Nenek.
“Uy ni cubau dighi pikir amau bukan luk itu ndik ke endak beteri tu njenguk aku, amau bukan gegara cincin itu tadi ndik kebetemu aku dengan beteri tadi nik. Mangku ndik kelamau kataunya tadi, duau malam kelau kulanjui titu,” ujar Sang Piatu masih mencoba membela diri.
“Udim cungg ay. Kaba tu lah ditipukahnyau,” ujar Nenek tak habis pikir dengan jalan pikiran Sang Piatu.
2 hari telah berlalu Sang Piatu belum juga mengambil cincinnya dari Raja.
“Lanjuilah cung cincin kaba tu. Lah pisak kitau ni mikirkah makan ni cung tupau kekitau makan petang ni,”
ujar Nenek.
“Kelau kuday nik,” tolak Sang Piatu.
Sang Piatu merasa tidak enak mengambil cincin itu dari Raja, akhirnya ia memutuskan untuk kembali menjenguk Burung Putih dari pada mengambil cincinnya yang dipinjam Raja.
“Nidau lemak makan nasi putih ajau ni cung, lanjuilah kuday cincin kaba tu mangku pacak lemak jugau makan ni,” keluh Nenek kepada Sang Piatu saat mereka sedag menyantap sarapan mereka.
“Arau nik amau luk itu. Udim makan ni aku kenjenguk Burung putih agi. Kitau ni dang tekedan ndik ngapau mintak tulung agi,” ujar Sang Piatu.
Setelah makan, Sang Piatu pun berangkat ke hutan untuk menjenguk Burung Putih. Setelah sampai lagi di pemandian, Sang Piatu mandi disana. Tanpa Sang Piatu sadari, setelah ia mandi di pemandian itu kulitnya makin putih dan bersinar. Sang Piatu menjadi terlihat jauh lebih tampan dari sebelumnya.