Setelah masuk kedalam rumah, gadis itu menyuruh Sang Piatu duduk di atas tikar yang sudah tersedia berbagai makanan di sana.
“Makanlah kudai ding. Lah kusiapkah galau. Aku lah keruan kaba ke kesini saghni,” Sang Piatu pun makan makanan yang sudah disiapkan gadis itu. Sang Piatu hanya makan sedikit dari sekian banyak makanan di sana. Dia mengunyah makanan itu dengan ragu-ragu.
“Yak, alang kedikit au Sang Piatu?” tanya gadis itu.
“Jadilah, lah kenyang aku,” jawab Sang Piatu dengan senyum canggung.
“Sang Piatu, aku ni nyalah Burung Putih yang kaba luputkah kemaghi. Aku keruan kaba kendalaki aku saghini. Nah ini adau cincin, namau au ni cincin secintau adau. Amau kaba adau kekendaan, kaba sebutkah ajau mangku ambungkah cincin ini mangku kediadaukahnyau,” ujar Burung Putih. Lalu, menyerahkah cincin itu kepada Sang Piatu.
“Terimau kasih namaunyau Burung Putih. Aku kebelanju kudai amau luk itu,” ujar Sang
Piatu. Lalu, keluar dari rumah itu dan beranjak pulang.
“Nik luk apau dighi tu lum dak makan?” Tanya Sang Piatu sesampainya di gubuk mereka.
“Yak lah ndak cung, tapi tuapau cak semugak beghas nidau bediau agi kitau ni. Ndak ncabut bekayu nidau laghat agi aku ni,” jawab sang Nenek dengan lesu.
“Tenang ajau nik. Saghini pacak kitau makan gulai lemak. Cincin, ninik nilah lapagh, ndak nasi putih, ndak gulai bantai, nak makan buak bajik,” ujar Sang Piatu lalu melempar cincin itu ke udara. Dengan sekejap mata berbagai jenis makanan sudah tersedia di hadapan mereka.
“Yak, dimanau kaba bulih cincin itu cung?” ujar sang Nenek terheran- heran.
“Inilah nik pulihan aku berayak dengan Burung Putih,” jawab Sang Piatu.
Setelah hari itu, Sang Piatu dan Neneknya tidak pernah kelaparan lagi. Perut mereka selalu diisi dengan berbagai jenis makanan lezat.
Pagi itu Sang Piatu meminta pakaian yang terbuat dari katun dari cincin secintau adau.
“Ayi cung, ndak kemanau kaba lah bebaju alap ni?” tanya Nenek heran.
“Aku ndak berayak dengan Rajau kuday nik,”jawab Sang Piatu.