Raja ke Rajaan kecil itu memiliki Putri Bungsu yang sangat cantik. Kecantikannya terkenal di seluruh negeri. Namun sayangnya, Putri Bungsu sangat jarang terlihat keluar dari istana. Hanya orang- orang tertentu yang datang ke istana yang dapat melihatnya.
Banyak pemuda di kerajaan penasaran dengan wajah asli Putri Bungsu. Termasuk Sang Piatu.
“Arau cung, amau kaba ndak berayak dengan Rajau. Tapi kalu tinggalkah ajau cincin tu. Kalu diambik au cincin kaba tu ngan Rajau,” ujar Nenek khawatir.
“Uyy nidau nik. Kengengapau pulau Rajau ngambik au.”
“Kaba nyesal kelau. Amau ndak pegi, tinggalkah ajau cincin tu,” ujar Nenek memperingatkan.
“Nidau nik. Pukuk au aku ndak pegi kuday nik. Cincin ke ku batak,” Sang Piatu bersikeras untuk pergi ke istana membawa cincin itu. Akhirnya Nenek hanya bisa mengiyakan.
“Uyy Sang Piatu lah sampai ni. Ngapau kedusun Sang Piatu?” tanya Raja saat melihat Sang Piatu berjalan menuju kearahnya.
“Ay, berayak ajau” jawab Sang Piatu.
“Apau, melah masuk keghumah namaunyau, ” ajak Raja kepada Sang Piatu untuk masuk ke istananya. Sang Piatu pun mengikuti langkah Raja untuk masuk ke istana yang cukup besar itu.
“Yak, Rajau iluk nggetap akap- akapan ni,” ujar Sang Piatu saat sudah duduk santai di dalam ruang tamu istana.
“Tapau kedigetapkah Sang Piatu?” jawab Raja sambil tertawa.
“Yak, bemasak,” jawab Sang Piatu.
“Lum bediyau lukak amau akap-akap ni Sang Piatu,” Raja menjawab dengan santai.
“Nah, amau lum bediau lukak au, bentang kelah tikagh di sini,” ujar Sang Piatu.
“Batan tapau tikagh tu? Ini kursi adau amau ndak duduk,” ucap Raja heran.
“Pukuk au bentang kelah kuday tikagh besak disini,” Sang Piatu bersikeras. Rajapun menurutu keinginan pemuda yang ada dihadapannya itu. Ia memanggil pelayannya untuk menggelar tikar di sana.