Esok harinya pagi-pagi Sang Piatu sudah berangkat ke hutan lagi untuk melihat jerat yang ia buat. Jerat pertama terlihat tidak disentuh sedikit pun. Jerat kedua juga terlihat sama, Jeratan ketiga sampai enam juga tidak mengenai apa pun.
Sang Piatu menghembuskan nafas kasar sepertinya hari ini ia akan pulang dengan tangan kosong. Namun Sang Piatu berlari kegirangan sambil tersenyum lebar saat melihat seekor burung yang sangat besar terperangkap dijeratnya. Burung itu memiliki bulu berwarna putih bersih yang terlihat sangat indah.
“Nah mati kaba. Puas ninik makan gulai burung saghini,” ujar Sang Piatu.
Senyumnya tak pudar saat membayangkan senyum nenek yang sudah lama tak terlihat saat melihatnya berhasil membawa burung besar pulang kegubuk mereka.
“Yak, Sang Piatu jangan kaba gulaikah aku ni. Luput kelah ajau aku ni Sang Piatu,” Burung Putih itu berbicara lesu kepada Sang Piatu, sepertinya daging lembutnya akan menjadi santapan Sang Piatu dan Neneknya.
“Yak, lupaukah ajau amaulah diluputkah, nidau pacak makan anyigh ninik petang ni,” tolak Sang Piatu dengan tegas.
“Uy Sang Piatu, luput kelah aku ni. Nidau sial kaba nginak aku ni. Kelau amau kaba sesak tekedan mangku kaba jenguk aku. Kekubalas kasih,” Burung Putih masih berusaha merayu Sang Piatu agar ia tidak menjadi santapan sedap.
“Udilah kaba. Kaba tu mbuung keruan ngan aku,” Sang Piatu masih tidak percaya kepada Burung Putih.
“Uy nidau. Pukukau amau kaba dang tekedan, jenguk ajau aku di sini, kekukabulkah galau kekendakan kaba tu,” Burung Putih masih berusaha merayu Sang Piatu.
“Yak, jadi amau ngenian kaba tu,” Sang Piatu akhirnya mulai mempercayai burung putih itu. Ia lalu melepaskan jerat di kaki Burung Putih dengan harapan jika ia dalam kesuliatan Burung Putih akan membantunya.
Sore itu Sang Piatu pulang dengan lesu tanpa membawa apapun ditanganya.
“Ay nik, sengkiap kitau makan besak saghini,” ujar Sang Piatu saat sudah sampai di depan rumah.
“Yak, ngapau cung?” tanya Nenek.
“Ngenai burung besak adau sembak pinggangan dighi nik,”
“Mangku cung?” tanya Nenek lagi.
“Way nik, ku luputkah.”