“Luk ini ajau Sang Piatu, amau anjing kaba ni ngenian misingkah emas, mangku aku balikkah cincin kaba. Tapi amau anjing kaba tu nidau misingkah tanci, mangku kaba aku bunuh. Tapau pembuung,” ujar sang Raja.
“Jadi, amau luk itu, bentang kelah tikagh. Aku ajung anjing ni mising di tikagh.”
Raja pun memanggil pelayannya untuk menggelar tikar yang paling besar di istana.
“Misinglah anjing penuhi luan Rajau ni.”
Anjing itu pun mengelilingi tikar yang sudah di gelar Raja. Tak lama kemudian tikar itupun sudah dipenuhi dengan koin emas yag berlimpah ruah.
“Nah, luk manau Rajau. Manau cincin aku?” Sang Piatu menagih janji Raja.
“Nah Sang Piatu, luk ini ceritaunyau. Anjing kaba tu minjam aku kudai. Aku ni cak Rajau. Masau Raja miskin. Semalam ajau. Udim tu kaba lanjui cincin,” ujar sang Raja memberi penawaran baru.
“Jangan pembuung Rajau. Amau pembuung, Rajau tulah ndik ngasi. Nah, ambiklah anjing. Tapi serempak dengan cincin kelau balikkah,” Sang Piatu pun memberikan anjingnya dengan suka rela.
Sang Piatu pulang masih dengan perasaan gelisah.
“Luk manau tini, cincin nidau mbalik, anjinglah diambik pulau.”
Di sisi lain, Putri Bungsu sudah mulai tertarik dengan Sang Piatu. Karena, semakin hari Sang Piatu semakin tampan. Tidak hanya itu, Sang Piatu juga memiliki barang -barang ajib yang bisa mengabulkan apapun keingnannya.
“Uy ninik, mintak maaf nian. Anjinglah dibeteri cincin lum pulau dibalikkah nyau,” ujar Sang Piatu takut- takut.
“Itulah. Acaklah aku kicikkah. Kaba tu diyau ndak kendak kaba ajau,” kesal Nenek.
Dua hari berlalu, Sang Piatu dan Nenek sudah merasa sangat kelaparan. Singkong di hutan belum memiliki umbi. Sedangkan sayur-sayuran sudah sangat sulit ditemukan.
“Ay nik, nidau ngasi luk ini. Aku ke njenguk rajau kudai. Ndak ku lanjui cincin ngan anjing,” ujar Sang Piatu.
“Iluk nian cung. Alang kelapagh busung ni.”