“Uy, jangan nian cung. Busuk kendang aku tu kelau,” namun Sang Piatu tidak mengindahkan larangan Nenek.
“Nah anjing misinglah di dalam kendang ninik ni, penuhi setini,” ujar Sang Piatu.
Tak lama kemudian anjing itu buang air besar di sana.Namun anehnya bukan kotoran yang ia keluarkan. Melainkan koin emas yang sangat banyak.
“Nah, nik. Pacak kitau belanjau batan makan malam ni,” ujar Sang Piatu bangga.
“Adak nian cung. Acak luk itu anjing kaba ni.”
“Itulah nik pengenjuk Burung Putih.”
Esok harinya pagi- pagi sekali Sang Piatu sudah siap dengan pakaian rapinya.
“Nik, aku ndak kedusun kudai. Ndak melanjui cincin aku di Rajau,” pamit Sang Piatu kepada Nenek.
“Gilah cung, tapi jangan amau ndak mbataki anjing,” ujar sang Nenek.
“Yak, ngapau nik nidau bulih?” tanya Sang Piatu heran.
“Way, kalu lengit. Kalu diambik au pulau dengan beteri anjing kaba tu cung!”
“Nidau nik. Kutinggalkah nilah kalu lengit. Pukuk au nik aku ndak pegi anjing ni ndak aku batak. Dighi tetenang ajau,” ujar Sang Piatu bersikeras.
“Ay, kendak kabalah cung cung,” ujar sang Nenek pasrah.
Setelah sampai di istana, Sang Piatu pun dijamu oleh Raja dengan berbagai jenis makanan lezat.
“Ngapau kaba mbataki anjing ke dalam ni Sang Piatu. Kalu mising di sini tini kelau,” ujsrnya.
“Yak, untung pulau amau diau mising di sini, anjing ni misingkah mas Rajau. Nah Rajau, tujuan aku saghini kesini ni ndak melanjui cincin aku,” ujar Sang Piatu.