Keutamaan Taubat Dalam Memelihara Ketakwaan kepada Allah SWT
Dr. Ismail Jalili, M.A.--RADAR BENGKULU
Pertama, taubat orang awam, yaitu taubat dari perbuatan dosa dan maksiat yang bersifat zahir. Seperti berzina, membunuh, berjudi, mencuri dan lain sebagainya. Kedua; taubat orang khusus, yaitu taubat dari maksiat batin. Yaitu dosa yang bersarang di dalam hati. Seperti: riya, takabbur, ujub, hasad dan lain sebagainya daripada penyakit hati.
Dan ketiga taubat orang khawâs al-khawâsh, yaitu taubat dari segala sesuatu yang melalaikan seseorang daripada mengingat Allah. Jika seperti ini adanya jalan hidup orang-orang saleh terdahulu, lalu bagaimana dengan diri kita yang datang jauh setelah mereka? Bagaimana dengan diri kita yang senantiasa berhadapan dengan syahwat dan nafsu serta senantiasa lalai dan berbuat maksiat? Bukankah kita memerlukan taubat lebih hebat daripada mereka yang juga senantiasa bertaubat?
Sebenarnya ketika muncul perasaan untuk bertaubat di dalam hati Anda, maka sebaiknya Anda segera memulainya. Bagaimana cara memulai taubat ini? Anda harus mengetahui di mana posisi Anda dihadapan Allah. Anda juga harus mengetahui seberapa banyak kesalahan Anda dalam melanggar hak-hak Allah. Setelah itu, hati Anda pun tersentuh, dan mengatakan, "Aku harus bertaubat, aku ingin bertaubat."
Marilah kita mencari sebab kenapa kita harus segera bertaubat. Saya akan menampilkan kepada Anda apa yang telah kita lakukan, sehingga ketika bertekad untuk melakukan taubat… ‘Iya, wahai Tuhan aku harus bertaubat, kembali kepada-Mu….’
Segeralah kita bertaubat kepada Allah!
Kita bertaubat wahai saudaraku, karena kita telah melakukan berbagai macam dosa. Mari memikirkan kemungkinan dosa besar yang kita lakukan! Kita mulai dengan rukun kedua dalam Islam. Yaitu shalat… Mari kita cek salat kita… Apakah semua shalat yang kita lakukan telah sempurna, sesuai dengan apa yang diinginkan Allah? Sudahkah kita salat dengan menghadirkan hati kita. Salat dengan penuh rasa cinta dan rasa takut? Ataukah bertahun-tahun kita terjebak dalam salat yang tidak memiliki rasa, tidak menghadirkan hati, tidak khusu’ dan tetap memikirkan dunia, meskipun dalam keadaan salat?
Mari kita bermuhasabah! Apakah kita senantiasa salat tepat waktu, ketika azan berkumandang, ataukah kita masih tetap sibuk dengan aktivitas duniawi kita? Bukankah banyak dari kita yang lalai dalam melaksanakan salat? Padahal Allah Ta’ala telah berfirman dalam surat al-Mâ’ûn, ayat 4 dan 5 yang artinya: “Maka kecelakaanlah (Wail) bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya.”
Ibnu Abbas berkata yang artinya, “Yang dimaksud dengan orang yang lalai dalam salatnya disini adalah orang yang mengakhirkan waktu salat."
Yang dimaksud lalai bukanlah orang yang meninggalkan salat, tetapi orang yang melaksanakan salat Zuhur beberapa saat sebelum asar. Atau melaksanakan salat Asar sesaat sebelum Maghrib atau melaksanakan salat Maghrib beberapa saat sebelum masuk waktu Isya'.
Siapa saja yang melaksanakan salat dalam kondisi seperti ini, maka ingatlah Allah telah menjanjikan untuk mereka Wail. Apakah Wail itu? Rasulullah Saw telah bersabda, "Wail adalah nama lembah di neraka jahannam, orang-orang kafir dilemparkan ke dalamnya yang membutuhkan empat puluh musim untuk sampai ke keraknya."
Dalam hadis lain riwayat Ibn Abbas ra disebutkan, “Wail ialah nama sebuah gunung di neraka, setiap kali orang kafir mencoba untuk mendakinya, mereka pun langsung terjatuh ke dalam api neraka.”
Malik bin Dinar ra juga menjelaskan, Wail adalah nama lembah dalam api neraka dengan berbagai macam siksaan di dalamnya."
Inilah Wail yang dijanjikan Allah bagi mereka yang lalai dalam salatnya. Yaitu senantiasa mengakhirkan salatnya tanpa ada halangan tertentu. Sekarang wahai pembaca apakah Anda mengetahui kenapa kita harus bertaubat? Karena kita telah melakukan dosa besar.
Selanjutnya mari kita memikirkan dosa besar lainnya.. Orang yang telah mencaci maki ayah dan ibunya, bukankah perbuatan tersebut juga masuk dalam kategori dosa besar? Bukankah Nabi Muhammad Saw telah bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayat Abdullah bin Amru bin Ash ra, "Di antara dosa besar adalah seseorang yang mencaci kedua orang tuanya." Para sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, bagaimana mungkin seorang anak dapat mencaci kedua orang tuanya." Beliau menjawab, "Dia mencaci ayah orang lain, maka orang itu balas mencaci ayahnya, ia juga mencaci ibu oranglain, dan orang itu balas mencaci ibunya." (HR. Bukhari dan Muslim)