Cerpen: Sang Piatu
Lathifah Khairun Nisa--
“Nik, aku ndak kedusun kudai. Ndak melanjui cincin aku di Rajau,” pamit Sang Piatu kepada Nenek.
“Gilah cung, tapi jangan amau ndak mbataki anjing,” ujar sang Nenek.
“Yak, ngapau nik nidau bulih?” tanya Sang Piatu heran.
“Way, kalu lengit. Kalu diambik au pulau dengan beteri anjing kaba tu cung!”
“Nidau nik. Kutinggalkah nilah kalu lengit. Pukuk au nik aku ndak pegi anjing ni ndak aku batak. Dighi tetenang ajau,” ujar Sang Piatu bersikeras.
“Ay, kendak kabalah cung cung,” ujar sang Nenek pasrah.
Setelah sampai di istana, Sang Piatu pun dijamu oleh Raja dengan berbagai jenis makanan lezat.
“Ngapau kaba mbataki anjing ke dalam ni Sang Piatu. Kalu mising di sini tini kelau,” ujsrnya.
“Yak, untung pulau amau diau mising di sini, anjing ni misingkah mas Rajau. Nah Rajau, tujuan aku saghini kesini ni ndak melanjui cincin aku,” ujar Sang Piatu.
“Luk ini ajau Sang Piatu, amau anjing kaba ni ngenian misingkah emas, mangku aku balikkah cincin kaba. Tapi amau anjing kaba tu nidau misingkah tanci, mangku kaba aku bunuh. Tapau pembuung,” ujar sang Raja.
“Jadi, amau luk itu, bentang kelah tikagh. Aku ajung anjing ni mising di tikagh.”
Raja pun memanggil pelayannya untuk menggelar tikar yang paling besar di istana.
“Misinglah anjing penuhi luan Rajau ni.”
Anjing itu pun mengelilingi tikar yang sudah di gelar Raja. Tak lama kemudian tikar itupun sudah dipenuhi dengan koin emas yag berlimpah ruah.
“Nah, luk manau Rajau. Manau cincin aku?” Sang Piatu menagih janji Raja.