Cerpen: Sang Piatu
Lathifah Khairun Nisa--
“Yak, tapau kaba pitung tu?” tanya Nenek saat Sang piatu sudah sampai di gubuk mereka.
“Inilah anjing kecik nik. Pengenjuk Burung Putihlah tini,” ujar Sang Piatu penuh senyuman.
“Yak, tapau gati au titu cung. Ndak di njuki makan mangku anjing itu, makan kitau ajau untung adau becincin giadak agi tini,” ujar sang Nenek lesu.
“Kuday nik, amau dighi ndak nginak au, mintak kuday tukup kendang dighi tu,” pinta Sang Piatu.
“Atan tapau cung?” tanya Nenek penasaran.
“Atan badah au mising nik,” jawab Sang Piatu polos.
“Yak, jangan cung busuk amau di ajung diau mising di sini,” larang Nenek.
“Uy, nidau nik. Kinaklah kelau tapau dimisingkahnyau.”
“Uy, jangan nian cung. Busuk kendang aku tu kelau,” namun Sang Piatu tidak mengindahkan larangan Nenek.
“Nah anjing misinglah di dalam kendang ninik ni, penuhi setini,” ujar Sang Piatu.
Tak lama kemudian anjing itu buang air besar di sana.Namun anehnya bukan kotoran yang ia keluarkan. Melainkan koin emas yang sangat banyak.
“Nah, nik. Pacak kitau belanjau batan makan malam ni,” ujar Sang Piatu bangga.
“Adak nian cung. Acak luk itu anjing kaba ni.”
“Itulah nik pengenjuk Burung Putih.”
Esok harinya pagi- pagi sekali Sang Piatu sudah siap dengan pakaian rapinya.