Cerpen: Sang Piatu
Lathifah Khairun Nisa--
“Uy semalam ajau,” Putri Bungsu terus bersikeras.
Sang Piatu pun merasa tidak enak dengan Putri Bungsu dan akhirnya memberikan cincin miliknya kepada Putri Bungsu.
“Nah pinjamlah, tapi jangan lamau. Amaulah duau malam ndak kulanjui tini,” ujar Sang Piatu sambil memberikan cincin secintau adau dengan berat hati.
“Yak gilah. Lanjui ajau amaulah duau malam kelau,” Putri Bungsu langsung memakai cincin itu di jari manisnya kegirangan.
Akhirnya Sang Piatu pun pulang dengan perasaan gelisah. Ia takut Nenek akan marah jika tau cincin itu sudah tidak ada di tangannya lagi.
“Ay luk apau makan malam ni tini, baghih nian kemarah ninik tini kelau,” ujar Sang Piatu.
“Mapai balik kaba ni Sang Piatu,” ujar Nenek saat melihat Sang Piatu dari kejauhan. Nenek
langsung melihat kearah jari jemari Sang Piatu. Jarinya kosong. Tidak terlihat tanda- tanda cincin secintau adau di sana.
“Manau cincin kaba?” tanya Nenek.
“Uy, itulah nik aku bingung ni. Tadi beteri tu ndak minjam cincin aku, madak pulau aku amau ndik minjaminyau,” jujur Sang Piatu.
“Itulah kaba tu. Caklah aku kicikkah, jangan dibatak,” ujar Nenek.
“Uy ni cubau dighi pikir amau bukan luk itu ndik ke endak beteri tu njenguk aku, amau bukan gegara cincin itu tadi ndik kebetemu aku dengan beteri tadi nik. Mangku ndik kelamau kataunya tadi, duau malam kelau kulanjui titu,” ujar Sang Piatu masih mencoba membela diri.
“Udim cungg ay. Kaba tu lah ditipukahnyau,” ujar Nenek tak habis pikir dengan jalan pikiran Sang Piatu.
2 hari telah berlalu Sang Piatu belum juga mengambil cincinnya dari Raja.