Para petani ini berharap agar pihak perusahaan dan BPN bisa memberikan solusi atas klaim yang telah berjalan cukup lama.
Salah seorang perwakilan petani menyatakan bahwa mereka telah berjuang selama bertahun-tahun untuk mendapatkan hak atas lahan mereka yang secara sepihak masuk dalam konsesi perusahaan.
BACA JUGA:Badan Wakaf Al-Quran Distribusikan 20.000 Al-Qur'an di Provinsi Bengkulu
BACA JUGA:Jasa Raharja Bengkulu Kunjungi KSOP Kelas III Pulau Baai Bengkulu
"Kami hanya ingin tanah kami kembali. Karena, ini menyangkut mata pencaharian dan kesejahteraan keluarga," ucap salah seorang petani Rahmanudin.
Sementara itu, konflik lain yang melibatkan PT Bimas Raya Sawitindo (BRS) juga memunculkan keresahan di kalangan masyarakat.
Mereka mempertanyakan kejelasan pengelolaan lahan plasma yang dijanjikan untuk warga sekitar. Hingga kini, masyarakat belum mendapatkan kepastian mengenai siapa yang bertanggung jawab atas pengelolaan lahan tersebut.
"Kami sudah lama menunggu janji ini, tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan tentang siapa yang akan mengelola dan bagaimana hasilnya akan didistribusikan kepada masyarakat," tambahnya.
Di Bengkulu Utara, masalah agraria yang melibatkan PT Purna Wira Darma Upaya (PDU) pun tak kalah pelik. Sejumlah petani mengeluhkan bahwa beberapa lahan mereka secara sepihak dimasukkan ke dalam HGU perusahaan. Hal ini membuat para petani merasa hak mereka dilanggar, dan mereka menuntut agar lahan tersebut dikeluarkan dari status HGU perusahaan. Para petani berharap pemerintah dapat bersikap tegas dalam menuntaskan masalah ini, sehingga hak masyarakat sebagai pemilik asli lahan dapat dilindungi.
BACA JUGA:Manfaat Olahraga Berkuda yang Digemari Kalangan Gen Z
BACA JUGA:Soal Rumah Dinas, Anggota DPR RI Diberi Tenggat Waktu Akhir Oktober
Ketua LSM Peduli Agraria Bengkulu, Rahmanudin, menilai bahwa permasalahan agraria di Mukomuko dan Bengkulu Utara ini merupakan gambaran dari kompleksitas konflik tanah di Provinsi Bengkulu secara keseluruhan.
Menurutnya, ketidakjelasan terkait status lahan dan pengelolaan plasma merupakan masalah yang sering terjadi, terutama di wilayah-wilayah yang menjadi sasaran perusahaan perkebunan besar.
"Jika pemerintah dan pihak terkait tidak segera mencari solusi yang konkrit, konflik agraria akan terus membayangi pembangunan di Bengkulu," ujarnya.
Ia juga berharap BPN dapat hadir pada rapat selanjutnya dan memberikan penjelasan serta solusi yang berpihak pada kepentingan masyarakat.
"BPN harus bisa hadir dan menjawab persoalan ini secara terbuka. Hak masyarakat harus dijunjung tinggi dan tidak boleh dikorbankan hanya demi kepentingan perusahaan," tegas Rahmanudin.