Khutbah Jumat: Refleksi Makna Perjalanan Hidup Manusia
Dr. Iwan Ramadhan, M.Hi--
Artinya, dalam melakukan aktivitas apapun di dunia ini, dalam pekerjaan dan profesi apapun, hendaknya semua itu kita landasi atas dasar ibadah kepada Allah SWT demi meraih ridho-Nya dan berharap kebahagiaan kelak di akhirat.
Kedua, prinsip yang dalam ayat di atas disebutkan dalam bentuk perintah (fi’il amr): ‘ahsin’, yakni agar kita senantiasa berbuat kebaikan. Artinya, dalam melakukan aktivitas apapun, hendaknya selalu kita orientasikan untuk tujuan berbuat baik terhadap sesama. Tidak sebatas memaknai kebaikan hanya untuk diri atau kelompok kita sendiri. Dengan prinsip ini, seseorang akan terhindar dari sikap ananiyah (egoisme), sebuah sikap yang sering menjadi sumber pertikaian dan permusuhan antar sesama. Selain itu, prinsip ini akan menumbuhkan sikap selalu berprasangka baik (husnudzan) kepada orang lain, serta memupuk sikap tasamuh (toleransi) dan saling menghargai.
Ketiga, prinsip “walaa tabghil fasada fil ardh.” Yaitu prinsip tidak berbuat keonaran dan kerusakan di muka bumi. Bila prinsip ini dipegang secara teguh dan sungguh-sungguh, seseorang akan dapat dengan mantap mewujudkan prinsip yang kedua. Yakni kemampuan berbuat baik terhadap sesama dibarengi kemampuan menghindari kerusakan. Dalam situasi tertentu, bahkan prinsip ketiga ini harus lebih diprioritaskan ketimbang prinsip yang kedua.
Hadirin sidang Jumat yang dimuliakan Allah SWT,
Ayat lain yang juga sangat penting kita renungkan dalam menapaki kehidupan ini adalah firman Allah berikut yang artinya : “Persiapkanlah bekal, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. al-Baqoroh: 197)
Meskipun konteks ayat ini menjelaskan tentang perbekalan dalam perjalanan ibadah haji, namun sesungguhnya ayat itu juga menjelaskan gambaran ketika manusia akan menghadap Allah di padang mahsyar kelak. Di mana, ibadah haji merupakan miniatur gambaran manusia yang akan dikumpulkan di padang mahsyar seperti halnya mereka berkumpul di Padang Arafah. Maka, bekal utama yang dapat menyelamatkan manusia adalah taqwa.
Imam Abu Abdillah Muhammad bin atau yang populer dengan nama Imam Fakhruddiin seorang mufassir dan ulama besar bermadzhab Syafi’i di zamannya, dalam dalam tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Kabir menyebutkan 5 perbandingan antara perbekalan di dunia dan perbekalan di akhirat:
Pertama, perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan menyelamatkan manusia dari ancaman penderitaan yang BELUM TENTU terjadi. Sedangkan bekal perjalanan dari dunia menuju akhirat, akan menyelamatkan manusia dari penderitaan yang PASTI terjadi jika seseorang tidak membawa bekal.
Kedua, perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan menyelamatkan manusia dari kesulitan sementara. Tetapi bekal perjalanan dari dunia menuju akhirat, akan menyelamatkan manusia dari kesulitan selama-lamanya yang tiada tara dan tiada batasnya.
Ketiga, perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan menghantarkan manusia pada kenikmatan sesaat, dan pada saat yang sama ia juga mengalami rasa sakit, keletihan dan kepayahan. Sementara bekal perjalanan dari dunia menuju akhirat, akan membuat manusia terlepas dari marabahaya apapun dan terlindung dari kebinasaan yang sia-sia.
Keempat, perbekalan dalam perjalanan di dunia, pada saatnya akan kita lepaskan dan kita tinggalkan di tengah perjalanan. Adapun bekal perjalanan dari dunia menuju akhirat, senantiasa akan kita bawa, dan kita akan lebih banyak menerima bekal-bekal tambahan hingga kita sampai pada tujuan, yaitu akhirat.
Kelima, perbekalan dalam perjalanan di dunia, akan mengantarkan manusia pada kepuasan syahwat dan hawa nafsu yang rendah. Sedangkan bekal perjalanan dari dunia menuju akhirat, akan semakin membawa manusia pada kesucian dan kemuliaan. Karena yang ia bawa adalah sebaik-baik bekal.
Hadirin sekalian hadaniyallahu wa iyyakum,