Antara Harapan dan Kenyataan: Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam

Antara Harapan dan Kenyataan: Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam -Ist-

Pertama, dalam hal bentuk kekerasan seksual tidak hanya fisik, tetapi juga non-fisik.

Kedua, tindak pidana kekerasan seksual berdasarkan undang-undang ini tidak dapat lagi dilakukannya penyelesaian dengan jalur damai, kecuali terhadap pelaku anak.

Ketiga, membentuk aparat penegak hukum yang berprespektif kepada korban untuk mencegah reviktimisasi.

Keempat, dalam hal pembuktian, barang bukti telah dikualifikasikan sebagai alat bukti dengan tujuan memudahkan aparat penegak hukum mengungkap kasus kekerasan seksual.

Kelima, mengupayakan sinergitas antara semua pihak, baik pemerintah pusat maupun daerah dalam penanganan kekerasan seksual.

Lalu bagaimana dengan faktanya sekarang? Sejak dibentuknya UU-TPKS dengan segudang harapan dari masyarakat dan pemerintah, dan sejak tulisan ini dibuat dalam hal penanganan kekerasan seksual masih saja terdapat permasalahan. Yaitu;

BACA JUGA:4.251 PNS Pemkab Bengkulu Selatan Bisa Tersenyum Lebar, Ada Apa Ya

BACA JUGA:Motor Honda Baru Desainya Sporty, Tapi Harganya Dijual Segini, CC Naik Menjadi 160

1). Permasalahan yang kerap dijumpai adalah mengenai penyelesaian kekerasan seksual itu sendiri/ dalam hal penegakan hukumnya.

UU-TPKS sendiri belum sepenuhnya dapat dilaksanakan, mengingat peraturan pelaksana belum juga dibentuk.

2). Dalam hal pembuktian, hukum positif di Indonesia menetapkan minimal 2 alat bukti, sehingga polisi terkadang masih memiliki kesulitan dalam mencari dan menemukan alat bukti tindak pidana kekerasan seksual. Ini disebabkan karena kekerasan seksual sendiri merupakan tindak pidana yang sangat tertutup, dan dilakukan ditempat-tempat yang sepi, sehingga kesulitan dalam mencari saksi.

3). Korban kekerasan seksual juga terkadang tidak langsung melaporkan kekerasan yang ia alami. Hal ini berkaitan dengan keadaan tertentu yang dialami korban. Bisa saja adanya keadaan trauma, jiwa terguncang hebat, atau malu dan takut melakukan pelaporan kepada polisi. Sehingga barang bukti dari kejadian tersebut menghilang.

 

4). Adanya representasi negatif dari masyarakat dan aparat penegak hukum yang terkadang merendahkan korban, bahkan cenderung menyalahkan korban atas peristiwa yang ia alami.

5). Penggunaan UU-TPKS masih sangat jarang didengar. Bahkan sebagian aparat belum melaksanakannya sejak undang- undang ini diberlakukan.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan