Bisakah Pemakzulan Wapres Gibran Dilakukan?

Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka--
Pemakzulan bukan hal baru dalam perjalanan panjang Republik Indonesia.
MPR sudah dua kali memakzulkan Presiden, yaitu terhadap Sukarno dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Namun, pelengseran wapres belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia.
Secara normatif, konstitusi jelas memberi ruang untuk memakzulkan Wapres. Namun, proses pelengseran melibatkan lebih dari sekadar pelanggaran hukum secara objektif. Ada aspek lain yang menentukan, yaitu kekuasaan dan kepentingan politik.
Kekuasaan dan kepentingan politik sering kali berperan dalam penafsiran norma hukum, sehingga proses ini sangat bergantung dengan konfigurasi politik di parlemen dan opini publik.
Hukum dapat menjadi alat politik untuk mewujudkan sesuatu yang tampaknya mustahil. Konflik politik dan hukum tidak dapat dihindari dalam situasi ini. Kerangka formal disediakan oleh hukum, tetapi cara penafsiran dan penerapannya ditentukan oleh politik.
Pada akhirnya, melengserkan Gibran dari posisinya sebagai Wapres memang dimungkinkan secara konstitusional. Namun, kecil kemungkinan dapat terjadi secara aktual dalam peta politik saat ini.
Publik pasti masih mengingat betapa pencalonan Gibran sangat kontroversial. Gibran, kubu pendukungnya, dan pengaruh ayahnya, (mantan Presiden Joko “Jokowi” Widodo) yang saat itu masih berkuasa, kuat diduga memengaruhi putusan MK agar dirinya dapat mencalonkan diri sebagai calon wapres.
Mungkin saja pemakzulan dapat lebih mudah dilakukan jika putusan MK yang meloloskan Gibran menjadi cawapres dianggap cacat. Namun, tetap saja tidak semudah itu.
Argumentasi ini pun akan terus bergulir menjadi sebuah perdebatan yang selalu diingat dan menjadi pengalaman perjalanan demokrasi Indonesia.