Wagub Pertanyakan Status Lahan Proyek Rp 6,7 Miliar di Jalur Longsor Kepahiang

Longsor Kepahiang--

RADAR BENGKULU – Proyek penanganan longsor di jalur strategis Nakau perbatasan Kepahiang yang digarap Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Bengkulu menjadi sorotan tajam Pemerintah Provinsi Bengkulu.

Wakil Gubernur Bengkulu, Mian, menyampaikan kekhawatirannya terhadap sejumlah aspek pelaksanaan proyek bernilai Rp 6,7 miliar tersebut, mulai dari status lahan hingga dampak lingkungan akibat pembersihan area di lereng perbukitan.

Peninjauan langsung dilakukan Mian di lokasi proyek yang kini memasuki tahap pembersihan jalur dan penebangan vegetasi. Titik pekerjaan berada di kawasan pegunungan Kepahiang, wilayah yang dikenal memiliki tingkat kerawanan longsor tinggi.

Dalam pengamatannya, Mian mengungkapkan kegelisahannya terkait kejelasan legalitas lahan yang menjadi bagian dari proyek. Ia mencurigai bahwa pekerjaan dilakukan di atas lahan milik warga, namun tanpa dokumen resmi atau kepastian sertifikat.

"Ini memang lahan masyarakat? Kalau ini bersertifikat, kita harus sangat hati-hati. Tidak boleh proyek negara masuk begitu saja ke tanah milik warga tanpa kejelasan hukum. Saya akan minta data lengkapnya dari Bupati Kepahiang," ujarnya tegas, Jumat (2/5).

BACA JUGA:Helmi Hasan Ingin Ubah Tahura Jadi Pusat Edukasi, Konservasi, hingga Ketahanan Pangan

BACA JUGA:Aspirasi Buruh Tertahan di Pintu Parlemen

Ia pun menyoroti cara kerja awal yang dinilai dapat memperparah potensi longsor. Pembersihan lahan dengan cara penebangan pohon secara masif, menurut Mian, justru dapat memperlemah kestabilan lereng yang selama ini dilindungi oleh tutupan vegetasi alami.

"Kalau semua ditumbangi seperti ini, jalan bisa habis karena lereng kehilangan penahannya. Ini malah menambah risiko longsor, bukan mengurangi," imbuhnya.

Sementara itu, pihak BPJN Bengkulu melalui Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) I Unit III, Komarudin, menjelaskan bahwa proyek masih dalam tahap awal dan pembersihan hanya dilakukan di area yang terdampak langsung. Ia mengakui bahwa sebagian besar lahan memang dikelola oleh masyarakat sebagai kebun kopi, namun secara teknis, lokasi tersebut sudah masuk dalam peta titik rawan longsor sejak tahun 2021.

"Ini adalah respons terhadap kejadian longsor berulang sejak beberapa tahun lalu. Penganggaran baru bisa terlaksana tahun ini. Untuk pondasi, kami akan menggunakan metode Bore Pile karena struktur tanah di sini tidak memungkinkan memakai pondasi dangkal," terang Komarudin.

Bore Pile merupakan metode pondasi dalam yang biasa digunakan di wilayah dengan risiko geoteknik tinggi. Dengan sistem ini, beban bangunan akan disalurkan ke lapisan tanah keras di kedalaman tertentu, memberikan daya tahan lebih terhadap pergeseran tanah.

Proyek penanganan longsor ini direncanakan berlangsung selama 180 hari kerja, terhitung sejak 20 Maret 2025. Meski secara teknis dinilai penting untuk menjaga konektivitas antarwilayah, pelaksanaan proyek yang menyentuh lahan masyarakat tanpa kejelasan status serta minimnya keterlibatan warga dalam proses awal, dinilai bisa menjadi bom waktu konflik sosial.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Bengkulu, Dr. Aditya Rahman, menilai bahwa pemerintah seharusnya menerapkan prinsip kehati-hatian lebih besar dalam proyek-proyek infrastruktur berbasis risiko.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan