Tradisi Sengkure di Kaur: Warisan Budaya yang Mempererat Silaturahmi Warga

Tradisi Sengkure di Kaur: Warisan Budaya yang Mempererat Silaturahmi Warga-Windi-

RADAR BENGKULU  – Setiap momen lebaran, masyarakat Suku Nasal di Kabupaten Kaur memiliki tradisi unik yang tetap lestari hingga kini. Tradisi yang disebut “Sengkure” ini menjadi daya tarik tersendiri di berbagai desa. Seperti Desa Tanjung Betuah, Ulak Pandan, Gedung Menung di Kecamatan Nasal, serta Desa Tanjung Baru dan Tanjung Agung di Kecamatan Maje.

Ritual Sengkure ini dilaksanakan pada Hari Raya Idul Fitri. Tepatnya 1 Syawal, sekitar pukul 14.00 hingga 17.00 WIB. Setelah umat Muslim menunaikan shalat Idul Fitri di pagi hari, Karang Taruna desa setempat mulai bersiap menggelar tradisi ini.

Meki Elyantoni, seorang penggiat budaya Kaur menjelaskan, Sengkure merupakan representasi dari sosok makhluk buruk dan menakutkan yang berasal dari cerita rakyat turun-temurun.

Sosok Sengkure ini diperankan oleh pemuda desa yang mengenakan kostum unik berbahan ijuk dari pohon aren, tikar tua, serta topeng menyeramkan. Pakaian tersebut kemudian diikat dengan tali rafia atau akar tumbuhan agar terlihat semakin autentik.

BACA JUGA:Pantai Jakat Kota Bengkulu Dibanjiri Wisatawan di Hari Kedua Lebaran

BACA JUGA:Halal Bihalal, Tradisi Idul Fitri yang Membahagiakan dan Mengeratkan Kebersamaan

Begitu semua persiapan selesai, arak-arakan Sengkure pun dimulai. Sosok ini dibawa berkeliling kampung, melewati gang-gang sempit hingga jalan-jalan utama, sambil diiringi tabuhan musik khas daerah. Masyarakat, baik anak-anak maupun orang dewasa, berkerumun menyaksikan pawai ini dengan penuh antusias.

Yang menarik, dalam prosesi ini terjadi interaksi langsung antara Sengkure dan warga. Banyak warga yang berjabat tangan dengan Sengkure, melambangkan permintaan maaf dan memulai lembaran baru setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa.

Bagi para perantau yang pulang kampung, tradisi ini menjadi ajang pertemuan yang memudahkan mereka untuk bersilaturahmi dengan sesama warga desa.

"Tradisi ini tidak mengandung unsur mistis sama sekali, melainkan murni sebagai permainan rakyat yang sudah ada sejak zaman dahulu," ujar Meki Elyantoni.

Menurutnya, cerita tentang Sengkure pada mulanya sering diceritakan kepada anak-anak yang sulit tidur agar mereka lebih cepat terlelap dan tidak berkeliaran di malam hari. Seiring waktu, cerita tersebut berkembang menjadi tradisi tahunan yang diwariskan dari generasi ke generasi.

BACA JUGA:Wali Kota Dedy Wahyudi Lepas Masyarakat Pandan dan Tanjung Alai Pulang Basamo

BACA JUGA:Dikenalkan NU, Ini Dia Tema Halal Bihalal yang Berkesan di Sekolah

Meskipun zaman terus berubah, masyarakat Suku Nasal tetap berupaya menjaga keberlanjutan tradisi Sengkure. Bagi mereka, ritual ini bukan sekadar hiburan, melainkan juga bentuk pelestarian budaya lokal yang mempererat rasa kebersamaan. Dengan semakin banyaknya anak muda yang ikut serta dalam pelaksanaan Sengkure, harapan untuk mempertahankan tradisi ini di masa depan semakin besar.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan