Isinya merupakan kacang hijau yang sudah dihaluskan, warga Brebes menyebut isian kukuran dengan sebutan enten-enten, yang berarti yang diharapkan, atau sesuatu yang dinanti-nantikan.
Sejarawan Pantura, Wijanarto, menyatakan bahwa penyesuaian kue ini dengan budaya lokal mencerminkan penerimaan masyarakat terhadap ragam budaya yang ada.
"Dulu orang hanya mengenal kue kering saat Imlek. Saat ini, kue ini menjadi favorit untuk berbagai acara karena simbolnya dianggap membawa keberuntungan," ujarnya.
Wijanarto menilai fenomena ini sebagai tanda kuatnya proses akulturasi budaya di Indonesia.
"Kue kuran merupakan contoh bagaimana budaya Tionghoa diadaptasi oleh masyarakat setempat dan kemudian diikutsertakan dalam tradisi mereka. Hal ini menunjukkan keselarasan dan penghargaan satu sama lain antar suku," ujarnya.
Selain menjadi hidangan dalam acara hajatan, kue kuran juga semakin gampang dijumpai di pasar rakyat dan supermarket yang ada di Brebes.
Harga yang bersahabat dan cita rasanya yang lezat menjadikan kue ini disukai oleh banyak orang, baik yang tua maupun yang muda.
Dari perayaan Imlek hingga acara di desa-desa Brebes, kue kuran merupakan lambang bagaimana kuliner dapat menyatukan berbagai budaya.