Hidangan ini juga menggabungkan bahan-bahan tambahan seperti nangka muda, pisang muda, dan bagian dalam batang pisang, yang memberikan cita rasa yang khas dan unik.
“Kuah Beulangong bukan sekadar makanan, tetapi juga melambangkan semangat gotong royong masyarakat Aceh, karena proses pembuatannya melibatkan banyak orang, mulai dari menyiapkan bahan hingga memasak bersama,” tambahnya.
Bahrul Jamil menjelaskan bahwa tradisi memasak Kuah Beulangong sudah ada sejak abad ke-19, bahkan mungkin jauh sebelumnya.
Awalnya, tradisi ini diperkenalkan oleh para pedagang dari Gujarat, India, yang tidak hanya datang untuk berbisnis dan menyebarkan Islam, tetapi juga membawa pengaruh budaya, termasuk dalam aspek kuliner.
Di Aceh, Kuah Beulangong telah menjadi komponen yang tak terpisahkan dari berbagai acara adat dan tradisi kearifan lokal, seperti Khanduri (kenduri) Blang.
Ia juga berharap agar masyarakat dan pemerintah dapat berkolaborasi untuk memastikan tradisi ini tetap lestari di masa depan.
“Peran serta semua pihak sangatlah penting agar warisan ini tidak sirna, sehingga kebanggaan masyarakat Aceh Besar dapat terus dirasakan oleh generasi-generasi berikutnya,” tegasnya.