Artinya:
“Orang yang pelit adalah ia yang tidak menunaikan kewajibannya,” (Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’it Tirmidzi, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, t.t.], jilid VI, halaman 81).
Jika mengacu pada pendapat al-Mubarakfuri, maka orang-orang yang tidak menunaikan kewajiban yang seharusnya ditunaikan dapat dikategorikan sebagai orang yang pelit.
“Dalam konteks berumah tangga, jika suami tidak memberikan nafkah dan kebutuhan yang wajib diberikan pada istri dan anak-anaknya, maka dirinya dianggap sebagai suami yang pelit.”
Senada dengan pendapat al-Mubarakfuri, Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya menyatakan bahwa orang pelit adalah dia yang tidak memberikan sesuatu yang diwajibkan baginya. Jika dia telah memenuhi kewajiban tersebut, maka dia tidak termasuk sebagai orang yang pelit. Ia mengatakan:
اَلْبَخِيْلُ هُوَ مَانِعُ مَا وُجِبَ عَلَيْهِ فَمَنْ أَدَّى الْوَاجِبَ عَلَيْهِ كُلَّهُ لَمْ يُسَمَّ بَخِيْلاً وَاِنَّمَا الْبَخِيْلُ مَانِعُ مَا يَسْتَحِقُّ عَلَيْهِ اِعْطَاؤُهُ
Artinya:
“Orang yang pelit adalah dia yang menahan sesuatu yang wajib baginya. Maka, siapapun yang telah menunaikan semua kewajibannya, tidak disebut pelit. Sesungguhnya, pelit adalah menahan sesuatu yang seharusnya diberikan,” (Jalaul Afham fi Fadhlis Shalati ‘ala Muhammadin Khairil Anam, [Kuwait: Darul ‘Arubah, cetakan kedua, 1987], halaman 385).