Tambang Emas Ancam Bukit Sanggul, WALHI Desak Gubernur Tolak Rekomendasi

Tambang Emas Ancam Bukit Sanggul, WALHI Desak Gubernur Tolak Rekomendasi--
RADAR BENGKULU – Ancaman besar tengah mengintai bentang alam Hutan Lindung Bukit Sanggul di Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Bukan bencana alam, melainkan rencana eksploitasi tambang emas oleh PT Energi Swa Dinamika Muda (ESDMu) yang tinggal selangkah lagi menunggu restu.
Jika rekomendasi Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) dari Gubernur Bengkulu H. Helmi Hasan diteken, maka pintu masuk eksploitasi akan resmi terbuka.
Direktur Eksekutif WALHI Bengkulu, Dodi Faisal, mengungkapkan bahwa pembukaan tambang ini bukan sekadar urusan bisnis, melainkan persoalan ekologis yang menyangkut masa depan generasi mendatang.
“Kalau tutupan hutan di Bukit Sanggul dibuka, maka kawasan resapan air akan hilang. Hutan ini juga paru-paru wilayah dan habitat satwa dilindungi. Jika ini dibiarkan, maka ancaman banjir dan longsor tinggal tunggu waktu,” kata Dodi.
BACA JUGA:Pemprov Bengkulu Matangkan RPJMD 2025-2029, Fokus Infrastruktur Jalan dan Layanan Kesehatan
Luas kawasan Hutan Lindung Bukit Sanggul mencapai 30.010 hektare, yang selama ini menjadi rumah alami bagi berbagai spesies langka. Diantara penghuni hutan ini adalah Harimau Sumatera, burung Rangkong, dan berbagai jenis satwa endemik lainnya.
Jika tambang emas beroperasi, maka hutan yang menjadi rumah mereka akan berganti menjadi lokasi penambangan dengan alat berat dan limbah beracun.
Dodi menegaskan, kehadiran tambang juga berpotensi mencemari Daerah Aliran Sungai (DAS) di sekitar Bukit Sanggul. Proses pemurnian emas yang diduga menggunakan merkuri dan zat berbahaya lain bisa langsung mencemari air bersih masyarakat.
“Air sungai dari hulu Bukit Sanggul itu sumber konsumsi dan irigasi warga di hilir. Begitu tercemar, maka tidak hanya lingkungan rusak, tapi juga ancaman langsung terhadap kesehatan masyarakat.”
BACA JUGA:Jangan Terulang Lagi, Ketua DPR RI Minta Audit Independen Terhadap Sistem Pendaftaran Digital
Dampak sosial-ekonomi juga menghantui warga. Banyak masyarakat di sekitar Bukit Sanggul menggantungkan hidup dari hasil kebun dan ladang yang berada di pinggiran hutan. Dengan hadirnya tambang, lahan produktif berpotensi hilang. Bahkan, Dodi menyebutkan bahwa secara administratif, sejumlah desa bisa hilang karena belum memiliki peta desa yang definitif.
“Ini bukan hanya tentang tambang. Tapi eksistensi desa, masyarakat adat, dan mata pencaharian ribuan warga juga ikut terancam,” tegasnya.
Ironisnya, penolakan yang sudah berlangsung sejak 2017 tak menggoyahkan laju legalitas tambang. Pada 25 Mei 2023 lalu, Kementerian LHK menerbitkan SK Nomor 533/MenLHK/Setjen/PLA.2/5/2023 yang menurunkan status kawasan hutan lindung menjadi Hutan Produksi seluas 19.223,73 hektare.