Revitalisasi Mandek, Pelabuhan Pulau Baai Rugikan Industri Sawit dan Batu Bara Bengkulu

Pelabuhan Pulau Baai Bengkulu--
RADAR BENGKULU — Harapan akan perbaikan Pelabuhan Pulau Baai, Bengkulu, masih menggantung di tengah udara. Sementara janji revitalisasi belum juga terealisasi, sektor industri strategis seperti kelapa sawit dan batu bara di provinsi ini sudah menanggung kerugian hingga ratusan miliar rupiah. Pendangkalan alur pelayaran menjadi masalah utama yang menghantam langsung aktivitas logistik.
Sekretaris Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Provinsi Bengkulu, Fahmi, SH, menyebutkan bahwa pendangkalan tersebut berdampak serius pada distribusi minyak sawit mentah (CPO), khususnya bagi perusahaan yang tidak memiliki kebun sendiri (PKS non-kebun).
“Untuk perusahaan non-kebun, mereka sudah punya kontrak pengiriman CPO ke luar Bengkulu lewat Pelabuhan Pulau Baai. Tapi karena alur terlalu dangkal, kapal tangki tidak bisa sandar. Ini menyebabkan pengiriman terhenti dan kerugian terus membengkak,” kata Fahmi.
Ia menyebutkan, sejauh ini kerugian telah mencapai ratusan miliar rupiah. Bahkan, angka tersebut diperkirakan masih akan bertambah jika proses pengerukan dan revitalisasi pelabuhan tidak segera dilakukan. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang memiliki kebun sendiri masih memiliki alternatif jalur darat, seperti ke Sumatera Barat.
BACA JUGA:Tujuh Peserta Gugur dalam Seleksi PPPK Bengkulu
BACA JUGA:Hadiri Langsung Musrenbang Kota Bengkulu, Gubernur Helmi: Pembangunan Harus Nyata di Lapangan
“Anggota Gapki yang punya kebun masih bisa jual lewat jalur darat, meski tentu saja biaya logistik jadi lebih mahal. Tapi setidaknya mereka masih bisa bergerak,” ujarnya.
Kerugian tidak hanya dirasakan oleh sektor kelapa sawit. Industri batu bara juga mengalami mati suri. Ketua Asosiasi Pertambangan Batu Bara (APBB) Provinsi Bengkulu, Sutarman, mengungkapkan bahwa hampir seluruh aktivitas tambang di wilayah ini berhenti total karena alur pelabuhan tak lagi bisa dilalui tongkang pengangkut batu bara.
“Tidak ada cash flow. Barang tidak bisa dijual, tidak ada kapal yang bisa keluar masuk. Mau tidak mau, semua tambang tutup,” tutur Sutarman.
Ia menambahkan, saat ini sedikitnya terdapat puluhan tambang yang menghentikan operasi, dan ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian. “Satu tambang rata-rata mempekerjakan 400 orang. Kalau tambangnya sudah puluhan, bisa dibayangkan berapa banyak keluarga yang terdampak,” lanjutnya.
Dari segi nilai ekonomi, potensi pendapatan ratusan miliar rupiah dari sektor batu bara kini terhenti. Opsi pengiriman lewat jalur darat, menurut Sutarman, tidak memungkinkan karena biaya logistik sangat tinggi dan tujuan pengiriman seperti ke Cirebon terlalu jauh.
“Tidak ada satu pun anggota kami yang sanggup menanggung biaya kirim lewat darat. Risikonya terlalu besar,” katanya.
Namun, Sutarman menekankan bahwa masalah Pelabuhan Pulau Baai bukan hanya sekadar pendangkalan alur. Ada tiga persoalan utama yang saling terkait, yaitu tanggul jebol yang membuat pasir terus masuk ke kolam pelabuhan, kerusakan fasilitas darat seperti konveyor dan jalan pengangkutan, serta tidak tersedianya tempat penumpukan material yang layak.
“Pengerukan saja tidak cukup. Kalau tanggul jebol tidak dibenahi, pasir akan masuk lagi. Jadi revitalisasi harus dilakukan secara menyeluruh,” tegasnya.