Hanifa Juniyati, salah satu peserta study trip, mengungkapkan bahwa abrasi yang terjadi di Desa Pekik Nyaring adalah bukti nyata dari ancaman krisis iklim.
"Sebagai anak muda, kita harus bertindak untuk mempertahankan daratan kita untuk masa depan. Caranya adalah dengan meminimalisir penggunaan energi serta terlibat dalam gerakan transisi energi bersih yang adil dan berkelanjutan," kata Hanifa.
Hosani, Manajer Sekolah Energi Bersih Kanopi Hijau Indonesia, mengkritik kurangnya upaya signifikan dari pihak berwenang dalam mengatasi laju abrasi yang telah menelan korban ini.
"Di sisi lain, faktor-faktor penyebab perubahan iklim seperti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara, pertambangan, dan pengrusakan kawasan hutan masih terus terjadi. Oleh karena itu, Sekolah Energi Bersih diadakan sebagai upaya mencerdaskan masyarakat berbasis fakta," jelas Hosani.
Abrasi tidak hanya terjadi di Desa Pekik Nyaring. Beberapa titik di pesisir Bengkulu juga mengalami abrasi, seperti Pantai Mukomuko, Pantai Ketahun, Pantai Lais, Pantai Desa Pondok Kelapa, Pantai Bengkulu Selatan, dan Pantai Kaur.
Kondisi ini menunjukkan bahwa masalah abrasi dan krisis iklim adalah isu yang harus segera ditangani secara serius dan kolektif.
Melalui program Sekolah Energi Bersih, Kanopi Hijau Indonesia berharap dapat mengedukasi dan menginspirasi generasi muda untuk berperan aktif dalam menjaga lingkungan dan melawan perubahan iklim.
Dengan demikian, diharapkan akan terbentuk kesadaran kolektif untuk beralih ke energi bersih dan mengurangi dampak negatif dari krisis iklim yang semakin nyata.