BACA JUGA:10 Kunci Pintu Rejeki dan Anjuran Nabi Muhammad SAW
P2G juga berharap agar kebijakan seperti "Program Guru Penggerak" (PGP) yang anggarannya fantastis mencapai 3 triliun (2024) dihentikan. Alasan PGP bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. PGP bersifat diskriminatif, eksklusif, tidak berkeadilan, dan tidak mengedepankan prinsip kesetaraan peluang.
Karena tidak semua guru berhak mengikuti pelatihan PGP untuk meningkatkan kompetensinya.
Padahal menurut UU Guru dan Dosen pasal 14 ayat (1) huruf d: “Guru berhak memperoleh kesempatan meningkatkan kompetensi.” Artinya, semua guru tanpa kecuali sangat berhak mendapatkan dan mengikuti pelatihan, tidak hanya Guru Penggerak seperti sekarang.
Di era Nadiem juga guru dikotak-kotakkan, dengan beragam label. Ada istilah Guru Penggerak, Guru Konten Kreator, Guru Fasilitator, Guru Komite Pembelajaran, dan lainnya.
Hal itu jelas membuat kastaisasi guru, eksklusivitas, dan menyulut konflik horizontal sesama guru.
BACA JUGA:KPwBI Provinsi Bengkulu Ajak Masyarakat Untuk Tukar Koin Bersama, Simak Tata Caranya
BACA JUGA:Inflasi Bengkulu Naik Pasca Lebaran Idul Fitri 1445 H
P2G juga meminta agar PMM yang dibuat Kemdikbud Ristek tidak diwajibkan untuk diisi atau diikuti secara bertahap oleh guru.
Meskipun sudah ada edaran dari Dirjen GTK Kemdikbud perihal ini, praktiknya di daerah, Dinas Pendidikan dan Pengawas sekolah masih mewajibkan guru mengikuti serangkaian kegiatan melalui PMM untuk mengejar sertifikat, padahal ini mengganggu proses pembelajaran siswa.
"Yang lebih terserap adalah Dinas Pendidikan dan Pengawas Sekolah di daerah memeriksa jumlah guru dan sekolah yang tidak mengerjakan PMM. Lalu ditakut-takuti bahwa izin sertifikasi guru tidak akan cair jika guru tidak menuntaskan PMM. Padahal antara PMM dan izin sertifikasi itu tidak ada kaitannya. Ini sangat ironis dengan Merdeka Belajar,” ungkap guru honorer ini.(**)