BACA JUGA:FLEKSI Bank Indonesia Edukasi Perkuat Peran & Pemahaman Masyarakat Terkait Pengendalian Inflasi
Reskilling sangat relevan dengan kondisi pasar kerja di Indonesia, mengingat potensi sektor-sektor baru yang belum terjamah oleh angkatan kerja. Salah satu diantaranya adalah tingginya potensi ekonomi digital yang memiliki prospek cerah yang justru belum tergarap secara optimal.
Fokus pada pengembangan kapasitas sumber daya manusia menjadi salah satu kunci yang harus diupayakan oleh pemerintahan baru saat ini.
Pengembangan kapasitas tenaga kerja, baik yang sudah bekerja maupun calon pekerja, menjadi kunci untuk menjaga daya saing di era global. Namun, realitanya, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang diharapkan mampu mencetak tenaga kerja terampil justru berkontribusi pada tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024 menunjukkan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) lulusan SMK mencapai 9,01%—tertinggi dibandingkan lulusan dari jenjang pendidikan lainnya. Ironisnya, sektor pendidikan yang seharusnya menjadi sarana pengembangan kapasitas justru menyumbang angka pengangguran tinggi, sehingga banyak lulusan yang akhirnya harus mengikuti pelatihan di Balai Latihan Kerja (BLK). Ini menunjukkan perlunya pembenahan kurikulum agar lebih relevan dengan kebutuhan pasar kerja.
Mengatasi masalah ini membutuhkan penyesuaian kurikulum yang selaras dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan industri. Pendidikan di SMK perlu diarahkan agar lebih fokus pada keterampilan teknologi. Seperti pemrograman, manajemen data, dan keahlian digital lainnya, guna mengurangi kesenjangan antara keterampilan lulusan dengan permintaan industri. Pendekatan berbasis proyek dan pelatihan praktis akan membantu lulusan lebih siap menghadapi persaingan di dunia kerja.
Kedua gelombang PHK dipengaruhi oleh resesi ekonomi dan ketidakstabilan politik juga memperburuk gelombang PHK di Indonesia. Resesi dan ketidakpastian politik cenderung menekan daya beli dan konsumsi masyarakat, yang pada akhirnya menurunkan produktivitas perusahaan.
Ketika produktivitas merosot, perusahaan sering kali terpaksa melakukan PHK demi kelangsungan bisnis. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan ekonomi yang mendukung daya saing perusahaan. Seperti insentif pajak dan subsidi untuk membantu mengurangi beban operasional serta menjaga stabilitas tenaga kerja.
Tak hanya insentif ekonomi, perlindungan bagi pekerja, termasuk jaminan sosial yang tangguh, sangat diperlukan. Gelombang PHK tidak hanya berdampak pada perekonomian, tetapi juga mengancam stabilitas sosial. Tekanan ekonomi yang dirasakan oleh pekerja yang kehilangan pekerjaan tanpa jaminan sosial berisiko memicu perilaku menyimpang. Penanganan PHK membutuhkan sinergi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat.
Untuk memitigasi dampak sosial akibat PHK, pemerintah perlu memperkuat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Mengutip dari Yanu dkk (2023) JKP ini diarahkan agar lebih inklusif dan terbuka bagi seluruh pekerja terdampak. Selain dukungan finansial, program ini sebaiknya menyediakan pelatihan keterampilan agar tenaga kerja bisa kembali bersaing di pasar kerja.
Langkah ini tidak hanya membantu secara jangka pendek, tetapi juga memperkuat daya tahan tenaga kerja Indonesia dalam menghadapi dinamika ekonomi.
Gelombang PHK yang terus terjadi mengindikasikan kerentanan ekonomi kita terhadap guncangan global dan domestik. Adaptasi adalah kunci untuk bertahan di tengah perubahan, sehingga pemerintah perlu mengambil langkah mitigasi lebih serius, termasuk memperluas akses pelatihan keterampilan di seluruh Indonesia.
Pembenahan pendidikan harus segera dilakukan untuk menghasilkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan industri, mengurangi angka pengangguran, dan membentuk tenaga kerja yang siap bersaing di pasar global.
Dengan demikian, masalah PHK harus menjadi prioritas dalam agenda pembangunan nasional, tidak hanya melalui solusi jangka pendek tetapi juga lewat strategi jangka panjang yang komprehensif.