Oleh: Triyono, Ivan Lilin Suryono, Beni Teguh Gunawan, Hennigusnia, Ardhian Kurniawati
*)Penulis adalah Peneliti Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Pusat Riset Kependudukan BRIN
Indonesia telah merdeka selama 79 tahun dan kini dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto serta kabinet yang baru. Harapan baru dan adanya perubahan diharapkan bisa terjadi dengan adanya pemerintahan yang baru.
Namun, di tengah optimisme itu, sebagian rakyat justru menghadapi tragedi yang mengguncang hidup mereka. Yaitu badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Bahkan, bayang-bayang PHK tersebut tidak hanya menyelimuti mereka yang sudah kehilangan pekerjaan, tetapi juga menghantui yang masih aktif bekerja, yang merasakan kecemasan akan ketidakpastian nasib mereka.
Gelombang PHK yang melanda sektor garmen dan media kini tak hanya menghantam individu pekerja, tetapi juga mengancam stabilitas ekonomi dan sosial. Salah satu kasus paling mencolok adalah ancaman PHK terhadap 20.000 karyawan PT Sritex, perusahaan garmen besar Indonesia yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang.
Imbas dari PHK ini sangat luas; tidak hanya pekerja yang terdampak, tetapi juga keluarga-keluarga yang menggantungkan hidup pada mereka.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat bahwa sepanjang Januari hingga Oktober 2024, sebanyak 59.764 tenaga kerja mengalami PHK. Bagi para pekerja yang kehilangan pekerjaan, badai PHK ini terasa bak petir di siang bolong yang datang tanpa peringatan.
Diskusi tentang PHK pun terus bergulir, menjadi isu yang belum menemukan solusi pasti, memperlihatkan bahwa masalah ini masih membayangi dunia ketenagakerjaan Indonesia.
Isu PHK selalu menjadi tantangan kontemporer yang kompleks dan kerap muncul di tengah perubahan besar dalam ketenagakerjaan. Walau berbagai kebijakan telah diterapkan, PHK tetap menjadi ancaman yang menghantui para pekerja, sering kali dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang terus berkembang di dunia kerja. Apa saja penyebab utama yang mendorong gelombang PHK ini?
Pertama, perubahan signifikan dalam dunia ketenagakerjaan itu sendiri. Revolusi teknologi membawa dampak mendasar: selain mengurangi kebutuhan tenaga manusia di berbagai bidang, ia menciptakan lapangan kerja baru yang membutuhkan keterampilan khusus.
Proses otomatisasi dan digitalisasi, misalnya, telah menekan kebutuhan tenaga kerja manusia di banyak sektor produksi. Tanpa kebijakan responsif, jurang antara kebutuhan keterampilan industri dan kapasitas tenaga kerja akan semakin melebar, menambah kompleksitas persoalan ini.
Untuk merespons tantangan tersebut, pemerintah dapat mempercepat adaptasi tenaga kerja melalui penyediaan program pelatihan dan sertifikasi yang sesuai dengan tuntutan industri. Optimalisasi peran Balai Latihan Kerja (BLK) dengan kurikulum yang selaras dengan perkembangan teknologi terkini menjadi langkah penting.
Selain itu, kemitraan dengan sektor swasta juga bisa membantu menyediakan program magang atau pelatihan berbasis pengalaman kerja yang relevan, terutama di sektor-sektor yang masih membutuhkan tenaga manusia terampil.
Balai Latihan Kerja (BLK) kini tidak hanya berperan dalam memberikan keterampilan dasar (skilling), tetapi juga bertransformasi untuk meningkatkan keterampilan (upskilling) dan memberikan keterampilan baru (reskilling).
BACA JUGA:Ekonomi Bengkulu Terancam Terganggu