Dugaan Pengiriman PMI Ilegal ke Jepang Menguat

Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Bengkulu, Syarifudin--

Pemprov, Polisi, dan DPRD Bergerak Mengusut Jaringan TPPO

RADAR BENGKULU - Kasus dugaan pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) ilegal dari Bengkulu ke Jepang memasuki babak baru. Aroma praktik perdagangan orang semakin tercium setelah Pemerintah Provinsi Bengkulu mengantongi data awal yang mengarah pada aktivitas sebuah Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) di Jawa Barat. Temuan ini kemudian diserahkan kepada aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti.

Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Bengkulu, Syarifudin, mengatakan pihaknya bergerak cepat setelah menerima surat perintah tugas (SPT) dari Gubernur Bengkulu, Helmi Hasan. Dari data para pekerja migran yang berada di Jepang, indikasi pelanggaran mulai terlihat jelas.

“Sesuai SPT dari pak Gubernur, data-data awal dari pekerja migran di Jepang langsung kami telusuri,” kata Syarifudin saat ditemui di Balai Raya Semarak, Kamis (20/11/2025).

Dari hasil penelusuran awal, para pekerja tersebut diberangkatkan menggunakan visa wisata melalui sebuah LPK di Jawa Barat. Identitas ketua LPK yang diduga memberangkatkan korban, termasuk Adelia Meysa asal Seluma, telah dikantongi.

“Kami sudah dapat identitas ketua LPK yang memberangkatkan mereka,” ujarnya.

BACA JUGA:Dewan Soroti Pemotongan Transfer ke Daerah, Belanja Pegawai Bengkulu Terancam Naik, Bukan Turun

BACA JUGA:DPR Sahkan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Menjadi Undang-Undang

Data itu kemudian diserahkan kepada Polda Bengkulu. Polisi bergerak cepat dan kini kasus tersebut sudah masuk tahap penyelidikan. Beberapa pihak telah dipanggil untuk dimintai keterangan.

Menurut Syarifudin, modus yang digunakan cukup rapi. Para calon pekerja dijanjikan visa kerja ketika sudah tiba dan bekerja di Jepang. Namun kenyataannya, visa tersebut tidak pernah diterbitkan. Akibatnya, para pekerja hanya memegang visa wisata hingga masa berlakunya habis, membuat mereka otomatis berstatus overstay dan menjadi kelompok rentan.

“Ada yang diminta membayar Rp 40 juta sampai Rp 70 juta setelah visa wisata habis. Mereka sudah terlanjur percaya karena sudah bayar pelatihan dan diterima kerja,” papar Syarifudin.

Kasus ini mengundang reaksi cepat dari DPRD Provinsi Bengkulu. Kompleksitas kasus lintas negara membuat dewan meminta Pemprov segera mengusulkan anggaran operasional bagi tim investigasi yang telah dibentuk Gubernur.

Anggota Komisi I DPRD Bengkulu, Edwar Samsi, menegaskan bahwa pembentukan tim tanpa dukungan anggaran hanya akan memperlambat penanganan kasus.

“Ketika pemerintah membentuk tim atau satgas, pembiayaan harus ada. Seperti Saber Pungli, Satgas TPPO juga harus diakomodir anggarannya,” ujarnya, Rabu (19/11/2025).

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan