Cerpen: Ketika Laut Tertumpah
Lekat S. Amrin--
“Itu apa Mas?!” teriak Eliza.
Adam langsung menarik tangan Eliza untuk berlari menuju pinggiran pantai. “Itu ombak besar! Itu ombak besar! Awas-awas!” teriak Adam.
Raksasa itu pun tiba. Menderu, menghantam apa pun di hadapannya. Tak peduli semua diamuknya bersama gemuruh yang mengerikan.
Adam sangat ketakutan dikejar raksasa air itu. Dia tidak tahu lagi dimana Eliza. Dia hanya ingin menyelamatkan dirinya. Berlari sekencang-kencangnya tidak tau lagi arahnya. Namun gumpalan raksasa air itu pun menyapu Adam dan semua benda di sekitarnya. Dengan ketakutan dan histeris, Adam menyebut satu kata; “Allahuakbar!!!”
Baru kali ini Adam menyebut kata itu. Seumur hidup baru kini dia meneriakkan kata itu dengan sangat keras, berkali-kali dan tak berhenti. “Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar…!”
Tangan Adam menggapai-gapai apa saja di dalam air yang telah menelannya. Sungguh saat itu Adam kehilangan semua nyalinya. Kehilangan semua kehebatannya. Dia ciut, hanya pasrah penuh ketakutan dan terus menyebut nama Allah Maha Besar.
Seketika itulah ditangannya seperti ada yang menyorongkan benda sebesar badannya. Sekuat tenaga Adam menjangkaunya dan memeluk benda itu sekuat tenaga. Saat itu pelahan tubuh Adam pun mengapung. Rupanya benda itu adalah sepotong kayu log sepanjang hampir sedepa.
Mendapatkan kayu itu membuat Adam makin tak henti-hentinya menyebut; “Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar”
Adam tak tahu lagi dirinya dimana. Tidak ada lagi daratan. Matanya hanya melihat permukaan air. Lalu ombak laut bagai tak henti-hentinya menggoncang dan menghantam dirinya. Tapi pelukannya sangat kuat pada kayu itu. Entah berapa jam hal itu berlangsung, sehingga membuat Adam tidak sadarkan diri.
Baru berapa hari kemudian Adam ditemukan terdampar di pantai Sabang. Kayu sebesar badannya masih dipeluknya kuat-kuat. Dia sudah sekarat saat diamankan petugas relawan. Adam dibawa ke tempat penampungan. Dada dan perutnya koyak, terluka parah karena gesekan kayu yang dipeluknya itu sangat kasar permukaannya. Kaki Adam pun patah, sehingga harus di gip oleh petugas medis.
Ketika sadar Adam dengan lirih terus mengucap “Allahuakbar”. Berkali-kali.
Sebulan kemudian Adam hampir pulih. Dia diam-diam sering menangis di malam hari. Dalam hati yang terdalam dia mau tobat terhadap semua kemaksiatan yang dilakukannya. Dia ingin menebus dosa yang telah dilakukannya selama ini.
Sekaya apa pun dia, uang ratusan miliar, harta melimpah, sungguh tak ada yang dapat menolongnya di saat Tuhan mencoba kedahsyatan-Nya. Adam yakin kayu sepotong yang disorongkan padanya tidak lain karena dia diberi pertolongan Allah di saat dia putus asa dengan menyebut “Allahuakbar.” Itu sungguh keajaiban yang dialaminya.
Di hari lain, Adam menyaksikan berita televisi. Bahwa pantai Ulee Lheue Beach Banda Aceh telah datar. Tidak ada lagi yang tersisa. Adam tak ingin mengingat lagi dimana villa mewah miliknya, atau teman maksiatnya masih hidup atau sudah tewas. Semua sudah dihancurkan oleh kedahsyatan Yang Kuasa.
Dengan kaki yang pincang Adam menatap keluar kamp penampungan bencana tsunami. Baginya kini kekayaan yang paling berharga adalah keluarga. Petugas relawan telah menjanjikan padanya bahwa keluarganya dari Jakarta akan segera datang besok.(*)