ITS Surabaya Kembangkan Kurikulum Semikonduktor, Bekerjasama dengan ASU

Penyerahan cenderamata dari Konsulat Jenderal AS di Surabaya Christopher Green (dua dari kiri) pada Rektor ITS Prof Bambang Pramujati menandai dimulainya kolaborasi antara ITS dengan Arizona State University--

RADAR BENGKULU, SURABAYA – Sepotong semikonduktor mungkin hanya selebar kuku, tapi revolusi teknologi terjadi berkat kehadiran benda kecil ini. Mulai dari ponsel, komputer, mobil listrik, hingga satelit—semuanya tak akan berjalan tanpa chip semikonduktor.

Di balik benda kecil itu, tersimpan kekuatan ekonomi global dan pertarungan teknologi antarnegara. Kini, Indonesia mencoba masuk ke arena itu.

Seperti dikutip dari laman harian disway.id, Jumat, 15 Mei 2025, kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya menjadi saksi penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Arizona State University (ASU) dan ITS. Momen itu menandai langkah awal Indonesia memperkuat posisinya dalam ekosistem semikonduktor global yang selama ini masih didominasi Amerika, Tiongkok, Korea Selatan, dan Taiwan.

Ini bukan sekadar seremoni, MoU ini membuka jalan bagi riset bersama, pengembangan tenaga kerja, hingga pendidikan yang dirancang khusus untuk mendukung industri semikonduktor. “Ini awal yang baik. Kita belum punya kemampuan produksi penuh, tapi desain dan testing bisa jadi pijakan awal,” kata Prof Bambang Pramujati, Rektor ITS, sesaat setelah kegiatan usai.

BACA JUGA:Human Error, Panitia SNPMB 2025 Akui Salah Pasang Foto Joki UTBK Jadi Peserta

BACA JUGA:Kata Menteri Agama, Ini Keunggulan Pendidikan di Pesantren

Dalam dua hari ke depan, ITS dan ASU akan menggelar lokakarya bertema Teknologi Semikonduktor dan Desain IC (Integrated Circuit), dibantu penuh oleh International Technology Security and Innovation (ITSI) Fund, sebuah inisiatif dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.

Prof Bambang mengatakan, Indonesia punya mimpi untuk membangun industri semikonduktor. Tapi mimpi saja tak cukup. “Yang kita kurang itu keilmuan dan SDM. Nah, kolaborasi ini bisa jadi jembatan,” tambahnya.

Hadir dalam penandatanganan itu, Konsulat Jenderal AS di Surabaya Christopher Green menegaskan pentingnya kolaborasi teknologi ini. “Semikonduktor adalah pondasi ekonomi masa depan. Kami ingin membantu Indonesia menyiapkan individu yang bisa bersaing di pasar global,” ujarnya.

Green menyebut kemitraan ini sebagai bagian dari komitmen strategis Amerika Serikat, bukan hanya dalam transfer ilmu, tapi juga memperkuat rantai pasok semikonduktor global yang lebih aman dan tersebar merata.

Saat ini, dunia sedang menghadapi kekhawatiran besar soal ketergantungan terhadap negara tertentu dalam pasokan chip. Pandemi Covid-19 memperparah krisis itu. Banyak industri otomotif dan elektronik terhenti karena kelangkaan chip.

Untuk itu, negara-negara mulai menyebar pabrik dan desain ke wilayah baru. Indonesia juga dilirik karena kaya bahan mentah dan punya potensi pasar besar. Tapi itu saja tidak cukup.  “Bahan mentah kita punya. Alat juga ada. Tapi kemampuan untuk membuat jadi produk akhir itu masih minim,” ujar Atong Soekirman, Asisten Deputi Pengembangan Logistik Nasional Kemenko Bidang Perekonomian.

Ia menegaskan pentingnya investasi pada keilmuan, bukan hanya pabrik.

Indonesia harus menyiapkan SDM yang tidak hanya bisa menonton revolusi chip, tapi ikut merancangnya. Langkah awal ini memang belum muluk. Belum ada kabar pabrik chip berdiri dalam waktu dekat.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan