Cambuk Illiza
Illiza Sa'aduddin Djamal di seminar internasional memperingati 20 tahun tsunami di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry.----
Illiza menamatkan SMA di Al Azhar Jakarta. Lalu kuliah ekonomi di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Punya ijazah S-1 ekonomi, dia kuliah lagi. S-1 lagi. Kali itu di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh. Dia ambil jurusan bahasa Arab.
Illiza pun menjadi wali kota yang bicara Inggrisnya sama baiknya dengan bahasa Arabnya. Maka di seminar internasional memperingati 20 tahun tsunami kemarin dia bergaul dengan pede di tengah tamu-tamu dari Turkiye, Maroko, Jepang, Singapura, dan Malaysia.
Illiza juga rendah hati. Dia mengaku sangat mengagumi wali kota Surabaya, Bu Risma. Dia tidak ingin kalah dengan Bu Risma. Dia tahu di mana letak keunggulan Bu Risma: ngotot, konsisten, dan fokus.
Dalam lima tahun ke depan, Illiza harus bisa mewujudkan semua itu di Banda Aceh. Dia tidak boleh lagi maju di Pilkada yang akan datang. Dia dianggap sudah dua periode menjabat wali kota.
"Saya akan banyak pasang kamera di tempat umum," katanya. Terutama di lokasi yang biasa untuk pacaran. "Berduaan boleh tapi tidak boleh melebihi batas," katanya.
Kamera adalah alat modern yang bisa menggantikan polisi syariah. Tidak perlu lagi ada polisi syariah yang sampai harus patroli.
Tiongkok pun mengandalkan kamera untuk mencegah segala macam tindak kriminalitas. Di sana, di satu kota sebesar Banda Aceh bisa dipasang satu juta kamera.
Illiza tidak risau dengan praktik hukum cambuk di Aceh. "Kami mengenakan hukuman cambuk bukan untuk menyakiti," ujar Illiza.
Di Singapura hukum cambuk sampai membuat yang dicambuk berdarah. Toh investor tetap datang ke Singapura. "Hukum cambuk di sini lebih sebagai pintu untuk membuat mereka bertobat," katanya.
Illiza ingin sebelum hukuman cambuk dilaksanakan, harus ada tim pembina agar mereka tahu apa yang harus dilakukan setelah menjalani cambuk.
"Ada orang Tiongkok yang tertangkap membawa banyak minuman keras. Mereka justru minta dihukum cambuk saja. Jangan dimasukkan penjara," ujar Illiza tersenyum.
Hukum cambuk di Banda Aceh memang beda dengan di Singapura. "Rotan penyambuknya hanya ukuran garis tengah 1 cm," ujar Azwar Abubakar yang menyusul ke kafe.
Azwar adalah gubernur Aceh di saat terjadinya tsunami. Saat saya jadi sesuatu dulu, Azwar juga jadi menteri. Azwar lah yang merumuskan ukuran cambuk rotan itu. Juga yang merumuskan bagaimana cara mencambuknya: tangan si pencambuk harus dalam posisi lurus. Dengan demikian pukulannya tidak bisa keras.
Inti dari cambuk adalah hukuman sosial. Agar malu. Lalu bertobat. Karena itu hukuman cambuk dilakukan di tempat umum. Yakni di halaman masjid, usai salat Jumat.
Yang terkena hukum cambuk adalah perzinahan, pencurian, minuman keras. Setelah ditangkap mereka diperiksa. Begitu terbukti mereka boleh pulang –menunggu jadwal hukuman cambuk. Mereka tidak ditahan.