RADAR BENGKULU – Konflik agraria antara PT BRS dengan masyarakat Bengkulu Utara dan Mukomuko kembali memanas, dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bengkulu mengadakan rapat fasilitasi lanjutan pada Kamis, 17 Oktober 2024 di Ruang Rapat Raflesia, Kantor Gubernur Bengkulu.
Rapat ini melibatkan jajaran Pemprov, Kanwil ATR/BPN Bengkulu, perwakilan mahasiswa, petani, serta elemen masyarakat terkait.
Rapat ini adalah lanjutan dari pertemuan sebelumnya yang sempat tertunda karena absennya pimpinan Kanwil ATR/BPN.
Dipimpin langsung oleh Asisten II Setda Provinsi Bengkulu, Raden Ahmad Denny, pertemuan kali ini berlangsung dengan intens dan berfokus pada penyelesaian masalah Hak Guna Usaha (HGU) PT BRS yang telah kadaluwarsa sejak 2018.
Dalam rapat, Forum Aliansi Bengkulu yang diwakili sejumlah mahasiswa dan petani menyuarakan aspirasi mereka. Meskipun tidak menolak keberadaan investasi di daerah, mereka meminta agar ada pengawasan ketat terhadap aktivitas perusahaan demi melindungi kesejahteraan masyarakat lokal.
BACA JUGA:BPS Provinsi Bengkulu Gelar Evaluasi dan Harmonisasi Data Pertanian untuk Kebijakan 2025
Ridhoan Parlaungan Hutasuhut, perwakilan dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), menyatakan pentingnya transparansi data untuk mencegah konflik berkepanjangan.
“Harapan kami, data-data dari perusahaan dan Kanwil ATR/BPN harus lebih jelas untuk menghindari masalah ini terus berlarut-larut,” ujarnya.
Menurut Ridhoan, keterbukaan informasi ini bukan hanya hak masyarakat, tetapi juga bentuk tanggung jawab pemerintah dan perusahaan dalam memastikan kelancaran operasi di lapangan.
Pihak Kanwil ATR/BPN menjelaskan bahwa proses perpanjangan HGU PT BRS sedang berlangsung. Mereka menegaskan bahwa segala prosedur hukum yang berlaku akan dipatuhi, namun kekecewaan datang dari pihak masyarakat yang merasa tidak ada solusi nyata yang dihasilkan dalam pertemuan tersebut.
BACA JUGA:Anak Muda Bengkulu Harus Bersatu Menjadi Tuan di Tanah Sendiri
BACA JUGA:Tiga Hari Menuju Penutupan, Ribuan Honorer Masih Proses Submit
Supriyadi, perwakilan masyarakat dari Air Palik, Bengkulu Utara, mengungkapkan kekecewaannya karena banyak hal yang dibahas tanpa memberikan jalan keluar konkrit.
Salah satu isu utama adalah mengenai lahan plasma yang seharusnya menjadi hak masyarakat, tetapi diklaim tidak pernah disosialisasikan kepada mereka.