Para tokoh Melayu percaya bahwa perang antara Yahudi dan Arab bukanlah soal agama. Terutama di mata tokoh Melayu lama.
Perang berkepanjangan itu asal-muasalnya hanya soal internal keluarga Ibrahim.
Maka, --ini yang mereka anggap penting-- bangsa Melayulah yang akan mampu mendamaikan dua bangsa itu.
Pesan seperti itu pula yang diterima Muhammad Rasulullah di Medan. Pesan itu datangnya langsung dari Allah. Lewat wahyu ke orang Medan itu.
Maka sejak 24 tahun lalu ia terus berusaha merealisasikan wahyu itu. Lewat berbagai usaha. Termasuk kirim surat ke para presiden di dunia --termasuk para presiden Indonesia.
Nama Muhammad Rasulullah aslinya adalah Muhammad Zubir Amir, S.Si. Ia sarjana fisika dari MIPA Universitas Sumatera Utara (USU). Ia kelahiran tahun 1969.
Zubir adalah penganut tarekat Satariyah --yang memang besar di Aceh dan Sumut.
Zubir lantas menjadi mursyid Satariyah di Medan. Pengikutnya banyak sekali. Sampai di Malaysia.
Moderator malam itu, Muammar Lubis adalah salah satu pengikut Zubir. Muammar masih mahasiswa di Universitas Pembangunan Panca Budi Medan. Masih semester tiga. Jurusan hukum tata negara.
Dalam pembicaraan saya dengan Muammar saya tidak percaya ia masih mahasiswa semester tiga. Literaturnya luas. Ilmunya tinggi.
Rupanya Muammar seorang pencari ilmu mandiri. Baru belakangan ia sadar ijazah itu diperlukan. Bahkan ia akan meneruskan S-2 di Leiden, Belanda.
Melihat kepintarannya itu sudah ada yang akan membiayai Muammar ke Leiden.
Muammar termasuk yang percaya bahwa Zubir mendapat wahyu perdamaian itu. Itu dilihat dari usahanya tidak henti selama 24 tahun. Untuk apa. Ia tidak perlu apa-apa.
Sebagai sufi Zubir tidak memikirkan duniawi. Ia tidak punya mobil. Hidupnya untuk tarekat. Bahkan ia pernah jadi tukang becak di Medan --dengan ijazah sarjana fisika.
Saya pun tertegun. Saya kan orang Melayu juga.(Dahlan Iskan)