radarbengkulu.bacakoran.co - Pantang menyerah adalah prinsip yang selalu dipegang teguh oleh Prof. Sukir Maryanto, S.Si, M.Si, Ph.D. Lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah, pada 21 Juni 1971, perjalanan hidupnya penuh dengan tantangan.
Namun, berkat semangatnya yang tak kenal lelah, ia berhasil mencapai puncak karier akademis sebagai Guru Besar di bidang Gunung Api (Vulkanologi) dan Panas Bumi (Geothermal) di Universitas Brawijaya (UB).
Kecintaannya terhadap ilmu fisika telah tumbuh sejak muda, dan ketertarikannya pada vulkanologi muncul dari keinginan untuk berkontribusi dalam bidang yang jarang diminati.
"Sebanyak 13 persen gunung api di dunia, ada di Indonesia. Jadi menurut saya, gunung api itu harus dipelajari, karena selain ada potensi bahaya, ada pula potensi energinya," ujar Prof. Sukir dengan penuh semangat dalam Webinar SEVIMA, Selasa (03/09). Bagi Sukir, mempelajari gunung api bukan sekadar ilmu, melainkan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat dan lingkungan.
Namun, perjalanan menuju gelar profesor tidaklah mudah. Sukir harus menghadapi banyak rintangan, termasuk kesulitan ekonomi yang hampir membuatnya putus asa. Sejak kecil, putra pasangan Sastrodiharjo dan Santinah ini telah terbiasa bekerja keras membantu keluarganya berjualan berbagai jenis makanan.
"Sebelum sekolah, saya harus bangun untuk sholat subuh dan merapikan kantin, sempat juga saya berjualan makanan di bawah pohon, di rumah sakit. Saya ikut mengerjakan apa saja, tidak pilih-pilih," kenangnya.
Ketika keluarganya mengikuti program transmigrasi ke Jambi Pulau Sumatera, Sukir, yang masih kecil, memilih menetap di Sukoharjo bersama budenya.
Namun, ketika orang tuanya jatuh sakit, ia memutuskan untuk bergabung dengan mereka di Jambi.
Perjalanan panjang dan melelahkan itu dilalui dengan tiga hari perjalanan naik bus seorang diri dan membawa satu dus penuh buku, satu-satunya harta berharga yang ia miliki.
Di Jambi, ia tetap gigih belajar meski harus bekerja di ladang dan toko kelontong, hingga akhirnya berhasil melanjutkan sekolah SD dan SMP yang berjarak puluhan kilometer dari rumah keluarganya di daerah transmigrasi.
- Mulai Berdagang Dawet Ketika Sekolah di SMA PGRI Batu
BACA JUGA:Siap Pasang Badan, Dandim 0408 BS Kaur Dukung Kebebasan Pers, Jangan Ada Wartawan Diintimidasi
BACA JUGA:Bagi ASN dan PPPK, Bawaslu BS Ingatkan Jangan Lakukan Ini Pada Satu Calon
Ketika memasuki SMA, Sukir merantau ke Batu, Malang dan bekerja menjual dawet untuk membiayai sekolahnya.
Ia memilih Batu Malang karena pendidikan di Kota Apel ini menurutnya lebih baik dibanding di daerah transmigrasi.