RADARBENGKULU.bacakoran.co - Dalam momen peringatan Hari Buruh Internasional di Provinsi Bengkulu diperingati dengan ujuk rasa oleh berbagai kalangan.
Lebih dari 200 orang yang terdiri dari gabungan mahasiswa di Provinsi Bengkulu, Organisasi Kepemudaan (OKP), dan para buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Provinsi Bengkulu, menggelar aksi di depan Gedung DPRD Provinsi Bengkulu.
Mereka menyuarakan tuntutan terkait perlunya perhatian lebih terhadap kondisi buruh yang dinilai terpinggirkan.
Ketua KSPSI Provinsi Bengkulu, Aizan Dahlan, menegaskan bahwa tuntutan untuk mencabut Undang-undang Omnibus Law tetap menjadi fokus utama aksi ini.
Menurutnya, undang-undang tersebut telah digugat di Mahkamah Konstitusi dan dinilai tidak konstitusional.
Selama dua tahun terakhir, kata Aizan, telah dilakukan pengkajian terhadap Undang-undang Omnibus Law, namun pemerintah malah menerbitkan Peraturan Perundang-undangan (Perpu) yang dinilai masih merugikan buruh.
BACA JUGA:Dempo Dorong Pemprov Bengkulu Segera Cairkan Danan Hiba Pilkada
BACA JUGA:DPRD Provinsi Bengkulu Rancang Agenda Masa Persidangan Ke-II Tahun 2024
"Tuntutan dari bertahun-tahun lalu, dan hari ini yang dilakukan buruh bersama mahasiswa. Kami tetap fokus untuk mencabut undang-undang cipta kerja. Karena undang-undang itu sebelumnya sudah digugat di Mahkamah Konstitusi dan itu juga cacat dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat," ujarnya
Menurutnya selama dua tahun pengkajian terhadap undang-undang itu dilakukan agar terjadi perubahan, namun justru memunculkan Peraturan Perundang-undangan (Perpu) di jaman kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang menyatakan agar undang-undang tidak dirubah dan menerbitkan Undang-undang Nomor 6 tahun 2023 tentang Ketenagakerjaan yang dinilai masih sama dengan Undang-undang yang digugat sebelumnya.
"Dalam undang-undang ini banyak hal yang merugikan buruh, misalnya soal Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK) seenaknya. Kalau dulu PHK harus melalui gugatan di Pengadilan Industrial. Kalau sekarang perusahaan bisa mem-PHK tenaga kerjanya hanya dengan surat peringatan," beber Aizan yang juga seorang pengacara tersebut.
Beberapa poin desakan yang disampaikan meliputi pencabutan Undang-undang Omnibus Law, keberatan terhadap kebijakan Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK) yang dianggap seenaknya, serta persoalan terkait perhitungan upah yang kini terpusat di Badan Pusat Statistik, yang mengurangi kewenangan daerah.
BACA JUGA:Kemendikbudristek Senang Pemprov Bengkulu Mendukung Revitalisasi Bahasa Daerah
BACA JUGA:Meski Hanya 1 Kursi, PPP Kota Bengkulu Tetap Buka Pendaftaran Calon Walikota dan Koalisi
Aizan juga menyoroti masalah outsorching yang diperluas, menyebabkan kerja para pekerja tidak langsung kepada pemberi kerja. Ia juga mengkritik pengenaan pajak terhadap Tunjangan Hari Raya (THR) serta keterlambatan pembayarannya.