Sudah betulkah pemahaman kita tentang Taubat?
Sebagian orang beranggapan bahwa taubat adalah khusus untuk orang yang berdosa besar. Pendapat seperti ini membuat mereka bertanya-tanya, "Kenapa aku harus bertaubat, sementara aku tidak pernah melakukan dosa besar. Ketika aku melakukan dosa besar, aku baru bertaubat." Mereka mengklaim dirinya tidak pernah melakukan dosa besar yang mengharuskan mereka untuk bertaubat. Karena itu mereka menganggap pembicaraan taubat ini bukanlah topik penting untuknya. Semoga kita dijauhkan Allah dari perasaan yang demikian. Mari kita mencoba untuk mengupas secara detil pentingnya taubat ini dalam hidup kita dengan mengajukan satu pertanyaan di dalam diri.
Kenapa Kita Harus Bertaubat?
Taubat adalah salah satu tingkatan dari keimanan. Yakni bahwa setiap derajat dari keimanan kita membutuhkan taubat. Ia juga merupakan salah satu kewajiban diantara kewajiban-kewajiban yang ada di dalam agama Islam yang harus dilakukan dengan segera dan terus menerus. Supaya Anda senantiasa kembali kepada Allah berulang-ulang kali, setiap hari dan setiap malam.
Penulis sama sekali tidak mengatakan bahwa taubat ini hanya dilakukan sekali seumur hidup. Secara tegas kami katakan bahwa taubat harus dilakukan sesering mungkin. Bahkan berkali-kali setiap hari dan setiap malam.
Ketahuilah, bahwa taubat merupakan jalan bagi orang-orang yang ingin sampai kepada Allah. Ia juga merupakan perbekalan orang mukmin untuk menghadap Tuhannya. Tidak ada seorang pun dari kita yang dapat selamat dari kerugian di akhirat, kecuali dengan taubat nasuhah yang disertai dengan tekad yang kuat dan hati yang ikhlas karena Allah Ta’ala.
Taubat juga merupakan sifat orang mukmin yang bertakwa, bahkan ia adalah sifat para Nabi. Para Nabi dikenali dengan sifatnya yang ma’shûm (terhindar dari dosa, baik kecil atau pun besar). Karena itu taubat mereka sebagaimana yang dikabarkan Allah di dalam al-Qur’an adalah usaha mereka agar mendapatkan derajat tinggi di sisi Allah dan mendapatkan kebaikan yang lebih banyak. Sesungguhnya Allah mencintai orang yang suka bertaubat dan orang yang suka mensucikan diri. Dengan demikian bertaubat bukan hanya karena adanya kekurangan, namun ia merupakan kesempurnaan yang paling utama. Sehingga dikatakan, “Kebaikan al-Abrâr (orang yang berbakti) adalah taubatnya al-Muqarrabûn (orang yang dekat kepada Allah).” Karena itu seorang hamba tidak dapat mencapai kesempurnaan kecuali dengan bertaubat. Taubat pun menjadi sebuah keniscayaan bagi orang-orang mukmin. Kedekatannya kepada Allah tidak akan sempurna kecuali dengan taubat.
Karena itu kita melihat para salaf shaleh begitu perhatian dengan perkara taubat ini. Meskipun mereka memiliki ilmu dan mengamalkan ilmunya. Mereka hidup zuhud dan wara’, tapi mereka tetap membiasakan diri bangun malam, dan ketika sahur mereka tenggelam dalam istighfar mereka. Hal itu mereka lakukan terus menerus tanpa berhenti. Kenapa mereka melakukannya? Padahal hidup mereka dipenuhi dengan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla?
Jawabannya ialah, karena mereka mengetahui bahwa sebanyak apa pun ibadah yang mereka lakukan, sekeras apa pun diri mereka menghindari maksiat, hati mereka tetap meyakini bahwa mereka tidak akan bisa melakukan ibadah dengan sempurna. Bagi mereka, ibadah yang mereka persembahkan kepada Allah senantiasa memiliki kekurangan. Begitu juga dengan maksiat.
Hati mereka juga meyakini bahwa sekeras apa pun usaha mereka untuk meninggalkan maksiat, tetap saja mereka tidak bisa betul-betul meninggalkan maksiat. Sehingga salah seorang dari mereka pernah berkata, “Istighfar kami memerlukan istighfar (yang lain).” Taubat pun menjadi gerakan hidup dan nafas mereka.
Mereka senantiasa kembali dan kembali kepada Allah dengan hati penuh penyesalan. Air mata yang berlinangan dan jiwa yang khusu’ tunduk kepada Allah. Gerakan taubat ini pun tidak pernah mereka hentikan sampai ajal menjemput mereka. Berdiri dihadapan Allah adalah awal perjalanan mereka. Berjalan di jalan Allah adalah amalan mereka, sementara taubat menjadi bekal mereka dalam menempuh perjalanan.
Ibn Qayyim berkata, “Taubat adalah awal manâzil (tingkatan dalam perjalanan) pertengahan dan juga akhirnya. Hamba yang berjalan menuju Allah tidak akan pernah melepaskan taubat dan akan tetap seperti itu sampai kematian menjemputnya.”
Bagi orang-orang shaleh terdahulu, taubat sendiri memiliki tiga tingkatan.
Pertama, taubat orang awam, yaitu taubat dari perbuatan dosa dan maksiat yang bersifat zahir. Seperti berzina, membunuh, berjudi, mencuri dan lain sebagainya. Kedua; taubat orang khusus, yaitu taubat dari maksiat batin. Yaitu dosa yang bersarang di dalam hati. Seperti: riya, takabbur, ujub, hasad dan lain sebagainya daripada penyakit hati.
Dan ketiga taubat orang khawâs al-khawâsh, yaitu taubat dari segala sesuatu yang melalaikan seseorang daripada mengingat Allah. Jika seperti ini adanya jalan hidup orang-orang saleh terdahulu, lalu bagaimana dengan diri kita yang datang jauh setelah mereka? Bagaimana dengan diri kita yang senantiasa berhadapan dengan syahwat dan nafsu serta senantiasa lalai dan berbuat maksiat? Bukankah kita memerlukan taubat lebih hebat daripada mereka yang juga senantiasa bertaubat?