Jamaah salat Jumat yang dirahmati Allah Swt
Nama-nama tradisi yang disebut tadi pada kenyataannya tidak sesaklek itu. Artinya, meskipun namanya sedikit banyak mengarah kepada ziarah kubur, namun pada praktiknya tidak hanya itu saja.
Ada yang dilanjutkan dengan silaturrahmi ke tetangga sekitar, ada juga yang sembari berkumpul bersama keluarga besar dengan hidangan yang bermacam-macam.
Selain itu, bahkan ada juga yang dilengkapi dengan gotong-royong membersihkan jalanan-jalanan desa. Biasanya tradisi yang lengkap semacam ini disebut dengan nyadran.
Kata nyadran berasal dari bahasa Sansekerta berupa ‘sraddha’ yang bermakna keyakinan. Dalam artian, orang-orang yang melakukan nyadran ini berkeyakinan akan adanya keberkahan dari aktivitas yang dilakukan.
Aktivitas seperti ziarah kubur, silaturrahmi, membersihkan desa, dan makan-makan bersama diyakini mempunyai nilai berkah dan pahala. Terlebih tradisi ini dilakukan dalam rangka menyambut bulan yang penuh berkah.
Jadi, tradisi ini tidak dilakukan hanya berdasarkan keyakinan semata, melainkan ada nilai filosofi dan tujuan yang diharapkan di dalamnya. Termasuk juga tradisi lain di daerah Jawa seperti padusan. Nama ini berasal dari bahasa Jawa ‘adus’ yang bermakna mandi.
Maksudnya adalah dalam rangka menyambut bulan suci maka mandi di sumber mata air untuk membersihkan diri sebagai simbol bahwa tubuh dalam kondisi suci dan bersih dari dosa, sehingga siap melakukan ibadah-ibadah selama bulan Ramadhan.
BACA JUGA:Khutbah Jum'at: Memaknai Keberkahan Bulan Rajab
BACA JUGA:Nilai Kesabaran dalam Mewujudkan Ketakwaan Kepada Allah SWT
Para hadirin yang dirahmati Allah SWT,
Jika kita merenung atas berbagai fenomena dan tradisi di atas, mungkin kita akan bertanya-tanya: mengapa masyarakat sangat antusias melakukan tradisi tersebut? Lebih spesifik lagi: mengapa mereka gembira dengan kedatangan bulan Ramadhan ? Bukankah pada bulan itu dilarang makan dan minum yang justru memberatkan kita ? Inilah keunikan masyarakat kita.
Atas keberkahan dakwah yang tidak bosan-bosannya disampaikan oleh para wali dan ulama kita, membuat umat Islam di Indonesia sumringah dalam menghadapi perintah untuk tidak makan dan minum pada siang hari bulan Ramadhan.
Tentu saja pada dasarnya, perintah ini dirasa berat sebab berlawanan dengan kebutuhan manusia, namun atas keberkahan para ulama tadi menjadikan rasa berat tersebut menjadi sirna.
Bahkan, sebagaimana terlihat dalam pekan ini, antusias masyarakat kita begitu membara dalam menyambut bulan Ramadhan.