Industri ekstraktif menjadi salah satu penyumbang utama kerusakan lingkungan dan konflik di wilayah Bengkulu khususnya. Sistem politik dan ekonomi yang cenderung ekstraktif dan eksploitatif memperburuk krisis ekologis, ekonomi, dan sosial.
Salah satu contoh nyata adalah disahkannya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bengkulu Tahun 2023–2043.
Penyusutan luas kawasan hutan yang awalnya diusulkan sebesar 122 ribu hektar menjadi 22.833 hektar oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menunjukkan kecenderungan pemerintah untuk membuka pintu bagi investasi yang merampas hak-hak rakyat atas wilayah kelola.
Di sektor agraria, penyelesaian konflik agraria masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Krisis iklim juga mengancam wilayah pesisir Bengkulu dengan abrasi yang semakin parah.
BACA JUGA:3 Tujuan Kajati Bengkulu Kunjungan Kerja ke Mukomuko
BACA JUGA:Sari Rasa Sediakan Oleh-Oleh Khas Bengkulu dengan Cira Rasa Enak dan Berbagai Aksesoris Unik
Pertambangan di wilayah pesisir tidak hanya mempercepat laju abrasi, tetapi juga mengancam mata pencaharian nelayan tradisional.
“Meskipun isu lingkungan menjadi salah satu prioritas penting, terutama dalam pemilihan umum, tetapi sayangnya gagasan-gagasan yang disampaikan oleh calon presiden dan wakil presiden cenderung minim substansi. Kontestan pemilihan umum tingkat daerah juga belum menunjukkan kepedulian yang serius terhadap krisis lingkungan di Provinsi Bengkulu,” tuturnya