Gabus pucung menawarkan rasa asam yang menyegarkan dan gurih, dipadukan dengan cita rasa kluwek yang khas.
Para pakarnya menjelaskan bahwa sejarah gabus pucung bermula dari kondisi ekonomi masyarakat Betawi pada era kolonial Belanda.
Pada masa itu, masyarakat menghadapi kesulitan dalam mengakses ikan budidaya yang harganya tinggi, seperti ikan mas, mujair, dan bandeng.
Di sisi lain, wilayah Jakarta, yang pada saat itu masih dikenal sebagai Batavia, dikelilingi oleh rawa-rawa dan sawah, sehingga ikan gabus mudah didapatkan oleh penduduk setempat.
Karena itu, ikan gabus menjadi pilihan utama dalam penyajian hidangan ini.
Selain itu, masyarakat juga memanfaatkan buah pohon pucung atau kluwek yang tumbuh di tepi pekarangan dan di sepanjang Sungai Ciliwung.
Pucung ini berfungsi sebagai bumbu utama yang tidak hanya memberikan warna hitam khas pada kuah, tetapi juga menambah cita rasa unik pada masakan tersebut.
Pada tahun 2014, Direktorat Internalisasi dan Nilai Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan gabus pucung sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda dari Provinsi DKI Jakarta.