Hampir semua ketua pengadilan yang angkat bicara itu berpendapat tidak mungkin dilakukan perubahan. Alasan mereka: jumlah perkara terlalu banyak. Jumlah hakim kurang. Ruang sidang terbatas. Terkait pula pihak di luar hakim: jaksa dan lembaga pemasyarakatan.
Jaksa harus menghadirkan saksi-saksi. LP harus mengirim terdakwa dari ruang tahanan. Tidak bisa diubah.
Di tengah pesimisme yang parah itu seorang wanita unjuk tangan. Dia wakil ketua pengadilan negeri Probolinggo. Dia ternyata sudah melakukan perubahan. Jadwal sidang di Probolinggo selalu tepat waktu.
Nama wakil ketua pengadilan itu Mayasari Oktavia SH MH. Saya pun minta agar Mayasari menceritakan kisah suksesnyi melakukan perubahan.
"Ketua majelis hakim harus tegas. Kalau ditunggu setengah jam pihak-pihak terkait belum datang sidang dibatalkan," kata Mayasari.
Sejak awal dia sudah memberitahukan ketegasan itu kepada jaksa dan LP. Mereka pun membentuk grup WA khusus untuk jadwal sidang.
Ketika tulisan ini terbit, Mayasari mungkin sudah dilantik menjadi ketua Pengadilan Negeri Magetan.
Tapi, kata hakim yang lain, Probolinggo kota kecil. Tidak mungkin itu bisa dilakukan di pengadilan lain di kota yang lebih besar.
Diskusi pun ramai. Biarlah mereka saling melihat apa yang bisa dilakukan.
Ada lagi alasan tambahan: soal keharusan satu perkara ditangani hakim majelis. Tiga orang atau lebih. Tidak bisa diadili hanya oleh satu hakim. Jadwal pun kian sulit dibuat. Tiap anggota majelis bisa terkait dengan jadwal sidang perkara lain. Apa pun alasannya Mayasari sudah berhasil melakukan perubahan.
Mahkamah Agung, kata Hasanudin, terus mendorong perubahan. Termasuk mengadakan acara ini.
Saya sebenarnya ingin ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ikut bicara. Kabarnya PN Jaksel sukses melakukan digitalisasi pendaftaran dan penjadwalan sidang. Saya lupa.
Topik ringan lain yang saya ajukan adalah: mengapa orang yang sudah mengaku bersalah masih harus diadili untuk menentukan ia/dia bersalah atau tidak. Mengapa mereka yang sudah mengaku bersalah tidak langsung saja diputuskan nilai hukumannya.
Saya tahu itu tidak mungkin diubah. Aturan hukumnya mengatakan begitu. Tapi siapa tahu ada terobosan dari para ketua pengadilan di forum itu.
Seorang hakim senior angkat bicara. Namanya: Iwan Anggoro Warsita SH MHum. Ia kini menjabat Ketua PN Blitar. Iwan juga produktif dalam menulis buku. Sudah banyak buku hukum ia terbitkan.
Iwan Anggoro menceritakan pengalamannya yang sangat menarik. Yakni saat menjadi hakim di daerah kepulauan terpencil. Jarak antar pulaunya bisa dua tiga hari naik perahu.