Salah satunya saat ia ditugaskan menyidangkan perkara di Saumlaki, Maluku Tenggara. Lokasinya sudah lebih dekat ke Dili, Timor Leste.
Untuk ke sana perlu biaya perjalanan dinas. Anggaran tidak besar. Maka perjalanan dinas itu dibatasi: hanya tiga hari. Lebih dari itu harus biaya sendiri.
Tentu hakim tidak mau bertugas pakai uang sendiri. Maka dalam tiga hari puluhan perkara bisa diselesaikan.
"Keterbatasan biaya perjalanan dinas ternyata bisa membuat perkara cepat diputuskan," katanya. Seluruh ruangan tertawa riuh.
Iwan menyimpulkan satu perkara sebenarnya bisa ditangani dengan cepat. Yang penting ada dua alat bukti. "Hakim kan punya senjata ini," katanya sambil menuding dada. "Senjata keyakinan."
Anda sudah tahu: hakim memang boleh membuat putusan berdasar keyakinannya/nyi –setelah melihat kekuatan dua alat bukti.
"Apakah cara di kepulauan itu bisa diterapkan di kota besar?” tanya saya.
"Bisa!” jawabnya mantap –semantap rasa ikan bakar di Saumlaki.
"Kan situasinya berbeda?” tukas saya.
"Tetap bisa. Asal mau," katanya. "Kalau untuk perkara pasal 362, hakim sampai mengajukan lebih dari delapan pertanyaan, pasti itu hakim bodoh!” katanya.
Anda sudah tahu pasal 362 itu apa: pencurian.
Memang sebenarnya banyak yang bisa dilakukan. Masalahnya: mau atau tidak. Pasti bisa tapi belum tentu mau.
Ada yang bertanya balik: bagaimana cara saya melakukan banyak terobosan. Misalnya saat jadi dirut PLN.
Saya bilang, modalnya dua: akal sehat dan hati nurani. Saya selalu mengombinasikan dua sisi itu. Begitu akal sehat dan hati nurani sudah menyatu saya berani lakukan terobosan apa saja.
Tapi memang banyak orang melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan akal sehat dan hati nuraninya sendiri. Misalnya akibat pengaruh atasan. Atau pengaruh uang.
Setiap kali orang melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan akal sehat dan hati nurani, setiap itu pula ia sudah melakukan pembunuhan akal sehatnya sendiri. Kalau itu sering dilakukan maka orang itu sudah tidak lagi punya akal sehat.