Tiga Nilai Kebaikan Dari Keluarga Ibrahim
H. Ahmad Farhan, SS., M.Si--
Khatib : H.Ahmad Farhan, SS., M.S.I
Disampaikan di : Masjid Akbar Al-Taqwa Anggut Atas, Kota Bengkulu
Jamaah shalat Idul Adha yang berbahagia
Alhamdulillah, Segala puja bagi Allah SWT atas segala karunia, kita masih bertemu di hari Idul Adha. Teruslah bersyukur kepada-Nya, karena tiada yang sia-sia. Tetaplah bersabar atas apapun yang ditimpakan, karena akan berbuah kebaikan dan pahala di hari kemudian.
Shalawat dan salam kepada Rasulullah sang teladan yang kebersamaan dengannya menjadi kerinduan, kiranya Allah SWT kumpulkan kita bersama Sang Teladan dan orang-orang beriman di hari kemudian.
Oleh karena itu, bagi yang tetap sabar dalam beribadah, tidak berputus asa dalam usaha, senantiasa berbaik sangka kepadaNya. Semoga termasuk hambaNya yang bertaqwa. Akan tetapi, sungguh satu kepalsuan dan kerugian, bagi mereka yang gagal mengambil pelajaran, ketika banyak ibadah ditinggalkan, sementara sibuk dengan dunia menjadi kenyamanan.
Kaum Muslimin yang dirahmati Allah
Jika kita berada pada bulan Zulhijjah, maka ada dua moment yang tidak bisa dilepaskan dalam bulan ini. Yaitu ibadah haji dan ibadah kurban. Bagi jamaah seluruh dunia yang berada di Makkah, mereka melaksanakan ibadah haji, menyempurnakan rukun Islam kelima. Bagi mereka di masing-masing negerinya, maka melaksanakan penyembelihan hewan kurban di hari raya Idul Adha.
Ada nilai penting dari kedua ibadah ini. Yaitu bentuk ketaatan dan keikhlasan kita sebagai hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam moment Idul Adha ini, mari kita kembali belajar tiga nilai utama dari potret keluarga Nabi Ibrahim. Bahwa keteladan seorang suami dan ayah, istri dan anak yang menjadi satu kesatuan tak terpisahkan dalam terciptanya keluarga tangguh. Inilah pesan dan nasihat untuk kita semua yang dapat kita implementasikan dalam kehidupan keluarga.
Pertama, selalu berbaik sangka kepada Allah. Bahwa hidup ini pasti ada perintah dan larangan, musibah dan ujian dari Allah. Maka Ketika diperintahkan, atau diminta meninggalkan larangan, tentunya ada pasti ada kebaikan.
Sebagai suami dan bapak, Nabi Ibrahim berbaik sangka kepada Allah Swt seberat apapun perintah dilaksanakannya. Manakala harus menempatkan istri dan anaknya di Bakkah (Makkah) merupakan sesuatu yang berat, karena di tempat itu tiada siapa-siapa, belum ada kehidupan, bahkan air saja tidak tidak ada. Apalagi tatkala mendapatkan perintah untuk menyembelih sang putra tercinta yang diisyaratkan hanya dalam mimpinya.
Siti Hajar, sang istri juga berbaik sangka kepada Allah Swt, bahwa penempatannya di tempat yang gersang itu atas perintah Allah Swt, maka ia menerima dengan hati yang ringan. Dia yakin tidak mungkin Allah Swt bermaksud buruk pada dirinya. Perintah dijalani dengan baik, mengurus, membesarkan dan mendidik anak hingga memiliki kematangan berpikir dan kematangan jiwa. Allah swt memberi kemudahan kepadanya dengan rizki seperti air yang hingga kini sudah dinikmati begitu banyak orang dari seluruh dunia. Yakni air zamzam.
Ismail selaku anak, juga berbaik sangka atas perintah Allah melalui ayahnya agar dirinya disembelih. Bahkan dirinya mempersilahkan sang ayah dan menyakinkannya bahwa Ismail akan sabar atas perintah ini.