Inpres Enggano Disorot, Jangan Jadi Dokumen Mati

Inpres Enggano Disorot, Jangan Jadi Dokumen Mati--

RADAR BENGKULU – Baru lima hari diterbitkan, Instruksi Presiden (Inpres) No. 12 Tahun 2025 Tentang Penanganan Keadaan Tertentu Pulau Enggano sudah memicu beragam respon. Alih-alih menenangkan, sebagian warga justru merasa skeptis. Mereka khawatir, Inpres yang ditandatangani langsung oleh Presiden RI Prabowo Subianto pada 24 Juni 2025 itu hanya akan jadi dokumen formalitas tanpa realisasi di lapangan.

Keresahan itu mengemuka dalam diskusi publik bertajuk "Masyarakat Enggano dalam Pusaran Krisis" yang digelar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Bengkulu, Minggu (29/6) malam. Berlangsung secara daring dan luring, forum ini diikuti puluhan peserta dari berbagai elemen, termasuk tokoh adat, aktivis perempuan, akademisi, hingga jurnalis.

Salah satu suara kritis datang dari Paabuki Enggano, tokoh adat Milson Kaitora. Ia menilai Inpres tersebut belum memberi dampak nyata bagi masyarakat di Pulau Enggano. “Sudah lima hari diteken, tapi belum ada perubahan signifikan. Jangan sampai Inpres ini hanya jadi kertas yang dibingkai, tanpa tindakan konkrit,” tegas Milson dalam sambungan virtual.

BACA JUGA:Resepsi Milad Aisyiyah Provinsi Bengkulu ke 108 Berlangsung Sukses

BACA JUGA:Dikebut Siang Malam, Alur Pelabuhan Pulau Baai Ditarget Mulai Beroperasi Awal Juli 2025

Yang paling disorot adalah kelumpuhan jalur transportasi laut, yang menurutnya menjadi akar dari krisis ekonomi yang menghimpit masyarakat Enggano. Dengan alur pelayaran Pelabuhan Pulau Baai yang masih dangkal, mobilitas barang dan hasil bumi nyaris lumpuh.

“Kami butuh kapal, bukan janji. BBM katanya aman, tapi nyatanya listrik tetap dibatasi. Saya pamit lebih awal dari diskusi ini, karena jam 10 malam listrik kami dipadamkan,” keluh Milson.

Kritik juga datang dari Kepala Desa Ka’ana, Alamuddin. Ia menegaskan bahwa masyarakat Enggano memang tidak sedang kelaparan. Tapi keterbatasan akses membuat ekonomi tak bergerak. “Jangan salah paham. Kami tidak butuh sembako, kami butuh jalur distribusi hasil bumi. Itulah yang menghidupi kami,” ujarnya Alamuddin yang siap mengantar siapapun yang ingin melihat langsung kondisi di Enggano.

Dari perspektif perempuan, aktivis Puji Hendri dari Ruang Perempuan menyoroti dampak psikologis krisis terhadap ibu rumah tangga. “Saat ekonomi runtuh, perempuan yang paling terdampak. Mereka memegang peran pengelola keuangan, dan tekanan batin itu tidak bisa diukur hanya dengan angka statistik,” katanya.

Diskusi makin dinamis saat M. Prihatno (Atno) dari Azam Community menyampaikan kekhawatirannya atas euforia semu yang muncul pasca-Inpres diterbitkan. “Baru diterbitkan saja sudah banyak yang merasa persoalan selesai. Padahal belum ada implementasi nyata. Bahkan belum jelas siapa yang koordinir pelaksanaannya,” sorotnya.

Dalam Inpres disebutkan, Gubernur Bengkulu diminta membentuk Tim Koordinasi Penanganan Keadaan Tertentu Pulau Enggano. Namun hingga kini, belum ada kejelasan apakah tim itu sudah dibentuk dan mulai bekerja.

Akademisi UNIB, Dr. Arie Elcaputra, menilai masalah Enggano tidak hanya membutuhkan regulasi, tapi juga peta jalan. “Keterlibatan 21 lembaga pemerintah justru berisiko menimbulkan tumpang tindih. Tanpa rencana detail, penanganannya akan seperti orang buta berjalan tanpa tongkat,” kata Arie.

Persoalan lainnya adalah minimnya pemberitaan dari lapangan. Harry Siswoyo, perwakilan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bengkulu mengungkap bahwa framing di media kerap bertolak belakang dengan realita di lapangan. “Enggano tidak hanya krisis ekonomi, tapi juga krisis informasi. Terlalu sedikit jurnalis yang benar-benar turun ke sana,” katanya.

Diskusi malam itu ditutup oleh Ketua AMAN Wilayah Bengkulu, Fahmi Arisandi yang menyerukan pentingnya pengawasan masyarakat sipil. “Inpres ini jangan dilepas begitu saja. Harus dikawal agar tidak sekadar jadi retorika. Kalau tidak, Enggano akan terus dibiarkan dalam keterasingan,” pungkasnya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan