Batik Besurek: Kecantikan Tradisi dan Tantangan Ekonomi Perempuan Bengkulu

Batik besurek Bengkulu--

Oleh: Hennigusnia, Ardhian Kurniawati dan Beni Teguh Gunawan  

Batik Besurek, salah satu warisan budaya yang sangat kaya akan nilai sejarah dan budaya khas Bengkulu. Menawarkan motif kaligrafi Arab yang unik, Batik Besurek tidak hanya menjadi simbol identitas budaya, tetapi juga memiliki nilai estetika yang tinggi. Tahun 2015, Batik Besurek mendapatkan pengakuan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia. Sayangnya, meskipun memiliki nilai estetika dan budaya yang begitu besar, Batik Besurek kini menghadapi berbagai tantangan yang mempengaruhi kelangsungan industri ini serta kesejahteraan para pengrajinnya, yang mayoritas adalah perempuan.

Seorang perajin Batik Besurek yang telah berpengalaman lebih dari dua dekade, Eva (nama samaran), menceritakan tantangan besar yang dihadapi oleh industri tenun Batik Besurek.

Dulu, sebuah kain Batik Besurek dapat dihargai sekitar Rp 1 juta, namun kini harganya menurun drastis hingga hanya sekitar Rp 500.000. Penurunan harga ini terjadi akibat maraknya produk batik printing yang lebih murah dan lebih cepat diproduksi. Persaingan harga yang semakin ketat ini berimbas pada pendapatan pengrajin Batik Besurek tradisional, dan banyak yang terpaksa beralih ke profesi lain.

Selain itu, minat generasi muda yang semula tertarik untuk melanjutkan tradisi menenun Batik Besurek kini cenderung berkurang. Mereka lebih memilih untuk bekerja di kota besar, yang menawarkan peluang pekerjaan dengan penghasilan yang lebih stabil dan lebih tinggi. Kondisi ini semakin mengancam kelangsungan industri Batik Besurek, yang membutuhkan perhatian lebih untuk mempertahankan eksistensinya di tengah arus perubahan zaman.

BACA JUGA:Transaksi Lewat Mobile Banking Bank Bengkulu Mudahkan Warga Pulau Terluar

BACA JUGA:Command Center Kebencanaan Kota Bengkulu Rampung April 2025

Fenomena penurunan jumlah pengrajin Batik Besurek mencerminkan tantangan besar yang dihadapi oleh industri tenun tradisional ini. Perempuan-perempuan pengrajin Batik Besurek berperan sebagai penjaga tradisi ini, namun sering kali mereka hanya dipandang sebagai “pekerja rumahan” tanpa dukungan yang memadai untuk mengembangkan usaha mereka.

Menurut penelitian dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Bengkulu (2023), sekitar 85% perajin perempuan tidak memiliki akses ke pelatihan pemasaran digital atau modal yang cukup untuk mengembangkan usaha mereka dan memperluas pasar.

Seperti yang diungkapkan Diana (nama samaran), seorang perajin lainnya, mereka hanya menerima pesanan dari tengkulak yang menentukan harga jauh di bawah standar Upah Minimum Provinsi (UMP) Bengkulu. Hal ini menampilkan ketimpangan yang dihadapi oleh perempuan perajin yang harus menanggung beban ganda: pekerjaan produktif (menenun) dan pekerjaan reproduktif (mengurus rumah tangga), tanpa adanya perlindungan sosial yang memadai.

Tak jarang, perajin yang hanya diposisikan sebagai "pekerja rumahan" menghabiskan waktu lebih lama dari yang diatur dalam Undang-Undang untuk menyelesaikan produksi batik tanpa mendapatkan upah lembur. Teori feminist political economy yang dikemukakan oleh Diane Elson (1999) menjelaskan bahwa ketidakadilan ini terjadi karena kurangnya pengakuan terhadap pekerjaan rumah tangga yang sering dijalankan oleh perempuan tanpa apresiasi atau dukungan yang setimpal.

Meskipun menghadapi berbagai tantangan, terutama selama pandemi Covid-19 yang memaksa banyak pengrajin Batik Besurek gulung tikar. Harapan untuk kelangsungan industri ini mulai muncul melalui inovasi dari kelompok perajin muda.

BACA JUGA:Pemkot Bengkulu Persiapkan Program Cek Kesehatan Gratis

BACA JUGA:BPJS Gratis Kota Bengkulu Berlanjut Di Era Walikota Dedy Wahyudi - Ronny Tobing

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan