Sabtu, 09 Nov 2024
Network
Beranda
Berita Utama
Kota Bengkulu
Tausyiah
Opini
Teknologi
Kesehatan
Info Politik
Resep dan Kuliner
Daerah
Bengkulu Tengah
Bengkulu Selatan
Bengkulu Utara
Kaur
Kepahiang
Lebong
Mukomuko
Seluma
Pendidikan
Pariwisata
Network
Beranda
Pendidikan
Detail Artikel
Cerpen: Sang Piatu
Reporter:
Lathifa
|
Editor:
Azmaliar Zaros
|
Minggu , 31 Dec 2023 - 07:30
Lathifah Khairun Nisa--
cerpen: sang piatu karya lathifa khairun nisa radar bengkulu - dahulu kala hiduplah seorang pemuda biasa di pinggiran kerajaan kecil. pemuda itu dijuluki sang piatu. dijuluki sang piatu tentu saja karena dia sudah tidak memiliki orang tua. sejak kecil sang piatu sudah tinggal di gubuk kecil bersama neneknya yang sudah sangat tua. kulit neneknya sudah berkeriput dan seluruh rambutnya sudah berwarna putih. mereka berdua hidup digubuk itu dengan keadaan serba kekurangan. sang piatu dan nenek biasanya hanya memakan singkong rebus untuk makanan pokok dan untuk lauk sang piatu biasanya mengambil sayur-sayuran yang tumbuh disekitar sungai yang tidak jauh dari gubuk mereka. bagaimana dengan daging? apa mereka tidak memakan daging? bisa merasakan alotnya daging adalah sebuah anugrah bagi mereka. mereka hampir tidak pernah memakan daging tentu saja karena mereka tidak mampu membelinya. lalu apakah sang piatu tidak berburu? ya, sang piatu terlalu lemah dan takut untuk berburu. ia tidak bisa menyeimbangi langkah hewan-hewan berkaki empat itu. ditambah lagi dengan ancaman hewan-hewan buas yang ada disana. membayangkannya saja bulu kuduk sang piatu sudah berdiri. sang piatu merupakan seorang bujang tua. gadis mana yang ingin menikah dengan pemuda penakut dan miskin. bahkan tidak hanya itu, jika ada gadis yang ingin menikah dengannya, maka ia juga harus ikut mengurus nenek tua bangka yang tentu saja akan sangat merepotkan. pada suatu sore, saat nenek tengah kesulitan mengunyah lembutnya singkong rebus dengan giginya yang tak tersisa banyak, ia menghembuskan nafas kasar. “hayy....idang aghi makan bekayu ghebus sajau ni, kablikak patah galau gigi ni. amau ndak nunggukah cucung ni galak njeghat, nidau kepacak agi makan anyigh tini,” ujar nenek menyinggung sang piatu yang tengah duduk santai di halaman rumah. “nah kemulai agi dighini, arau amau ndak nian nik, aku pagi ke berangkat nyughuki ayam bekukuk. tunggulah ajau pagi nik, kubatakkah burung besak sutik pagi, makanlah dengan gighi pepuas,” jawab sang piatu langsung mengiyakan permintaan nenek. esok harinya pagi-pagi sekali sang nenek sudah selesai memasak makanan seadanya. lalu membangunkan sang piatu. “uy sang piatu, bangunlah nasi gulai lah masak.” sang piatu langsung bangun saat mendengar suara nenek. pagi itu sang piatu pun pergi ke hutan untuk berburu. ia menyebar 7 jerat di berbagai tempat di hutan. setelah memasang jerat, sang piatu pun beranjak pulang. “lah udim nik aku pasang jeghat. pagi akap-akap bangunkah aku, aku ndak ngaruhkah nyau,” ujar sang piatu. esok harinya pagi-pagi sang piatu sudah berangkat ke hutan lagi untuk melihat jerat yang ia buat. jerat pertama terlihat tidak disentuh sedikit pun. jerat kedua juga terlihat sama, jeratan ketiga sampai enam juga tidak mengenai apa pun. sang piatu menghembuskan nafas kasar sepertinya hari ini ia akan pulang dengan tangan kosong. namun sang piatu berlari kegirangan sambil tersenyum lebar saat melihat seekor burung yang sangat besar terperangkap dijeratnya. burung itu memiliki bulu berwarna putih bersih yang terlihat sangat indah. “nah mati kaba. puas ninik makan gulai burung saghini,” ujar sang piatu. senyumnya tak pudar saat membayangkan senyum nenek yang sudah lama tak terlihat saat melihatnya berhasil membawa burung besar pulang kegubuk mereka. “yak, sang piatu jangan kaba gulaikah aku ni. luput kelah ajau aku ni sang piatu,” burung putih itu berbicara lesu kepada sang piatu, sepertinya daging lembutnya akan menjadi santapan sang piatu dan neneknya. “yak, lupaukah ajau amaulah diluputkah, nidau pacak makan anyigh ninik petang ni,” tolak sang piatu dengan tegas. “uy sang piatu, luput kelah aku ni. nidau sial kaba nginak aku ni. kelau amau kaba sesak tekedan mangku kaba jenguk aku. kekubalas kasih,” burung putih masih berusaha merayu sang piatu agar ia tidak menjadi santapan sedap. “udilah kaba. kaba tu mbuung keruan ngan aku,” sang piatu masih tidak percaya kepada burung putih. “uy nidau. pukukau amau kaba dang tekedan, jenguk ajau aku di sini, kekukabulkah galau kekendakan kaba tu,” burung putih masih berusaha merayu sang piatu. “yak, jadi amau ngenian kaba tu,” sang piatu akhirnya mulai mempercayai burung putih itu. ia lalu melepaskan jerat di kaki burung putih dengan harapan jika ia dalam kesuliatan burung putih akan membantunya. sore itu sang piatu pulang dengan lesu tanpa membawa apapun ditanganya. “ay nik, sengkiap kitau makan besak saghini,” ujar sang piatu saat sudah sampai di depan rumah. “yak, ngapau cung?” tanya nenek. “ngenai burung besak adau sembak pinggangan dighi nik,” “mangku cung?” tanya nenek lagi. “way nik, ku luputkah.” “yak, ngapau cung kaba luputkan. cak nidau begulai kitau makan saghini?” ujar nenek heran. “katau diau tadi, diau ndak mbalas kasih amau aku luputkah nik.” mendengar pengakuan sang piatu, nenek pun tertawa terpingkal-pingkal. ia terheran-heran dengan jalan pemikiran cucu satu-satunya itu. “ay cung, cung ndik kepacak burung tu ndak mbalas kasih luk apau kaba ni,” ujar nenek heran. “pukuk au katau diau tadi diau kembalas kasih nik. pagi ke ku dalaki. katau diau tadi temui diau di utan amau dang tekedan. akap pagi nik bangunkah aku agi akap akap aku kenemui burung putih,” ujar sang piatu. nenek hanya bisa mengiyakan keinginan sang piatu. dia masih tidak mengerti apa yang dikatakan sang piatu. “apau makan tuapau kitau petang ni cung. aku lah beaghap kaba ke mbulih petang ni. nidau aku bedalak taghuk tadi,” raut muka nenek menjadi lesu. “tetaan kelah kuday nik amau saghini. kitau makan bekayu ghebus kudai nik. pagi aku kebedalak agi” jawab sang piatu. esok harinya sang piatu pergi lagi ke hutan. sang piatu pergi ketempat ia mememasang jerat. dia melihat kekanan dan kekiri tidak ada tanda- tanda burung putih disana. sang paitu berkeliling di sekitar sana sampai akhirnya ia menemukan sebuah jalan kecil. sang piatu menyusuri jalan tersebut. semakin jauh sang piatu berjalan, semakin lebar jalan itu. pohon-pohon semakin sedikit. semak -semak berukal sudah tidak terlihat. di sisi kiri kanan jalan tersebut hanya terlihat padang rumput yang sangat luas. sang piatu terus berjalan sampai akhirnya ia menemukan sebuah pemandian. pemandian itu memiliki air yang sangat jernih dengan sumur yang terbuat dari emas yang berkilau. sang piatu terkagum -kagum melihat pemandian yang sangat berkilau itu. akhirnya ia memutuskan untuk mandi dan beristirahat sejenak di sana setelah perjalanan yang panjangdan melelahkan. setelah selesai mandi, sang piatu melanjutkan perjalanannya. ia berjalan cukup jauh lagi sampai menemukan rumah besar yang terletak di ujung jalan tersebut. rumah itu tidak hanya besar, rumah itu juga ternyata terbuat dari emas yang berkilau. mulai dari dinding, tangga, lantai, pagar semuanya terbuat dari emas yang sangat berkilau. sang piatu tak henti hentinya berdecak kagum. saat masih sibuk mengagumi rumah megah itu, tiba-tiba ada seorang gadis cantik keluar dari balik pintu. gadis itu memiliki rambut panjang dan kulit putih bersih. tidak ada sedikit pun noda di kulitnya. wajahnya bersinar terang dengan senyum yang sangat indah. “uy sang piatu lah datang ni. naiklah ding,” ujar gadis itu mengajak sang piatu. sang piatu mengikuti gadis itu masuk kerumahnya. setelah masuk kedalam rumah, gadis itu menyuruh sang piatu duduk di atas tikar yang sudah tersedia berbagai makanan di sana. “makanlah kudai ding. lah kusiapkah galau. aku lah keruan kaba ke kesini saghni,” sang piatu pun makan makanan yang sudah disiapkan gadis itu. sang piatu hanya makan sedikit dari sekian banyak makanan di sana. dia mengunyah makanan itu dengan ragu-ragu. “yak, alang kedikit au sang piatu?” tanya gadis itu. “jadilah, lah kenyang aku,” jawab sang piatu dengan senyum canggung. “sang piatu, aku ni nyalah burung putih yang kaba luputkah kemaghi. aku keruan kaba kendalaki aku saghini. nah ini adau cincin, namau au ni cincin secintau adau. amau kaba adau kekendaan, kaba sebutkah ajau mangku ambungkah cincin ini mangku kediadaukahnyau,” ujar burung putih. lalu, menyerahkah cincin itu kepada sang piatu. “terimau kasih namaunyau burung putih. aku kebelanju kudai amau luk itu,” ujar sang piatu. lalu, keluar dari rumah itu dan beranjak pulang. “nik luk apau dighi tu lum dak makan?” tanya sang piatu sesampainya di gubuk mereka. “yak lah ndak cung, tapi tuapau cak semugak beghas nidau bediau agi kitau ni. ndak ncabut bekayu nidau laghat agi aku ni,” jawab sang nenek dengan lesu. “tenang ajau nik. saghini pacak kitau makan gulai lemak. cincin, ninik nilah lapagh, ndak nasi putih, ndak gulai bantai, nak makan buak bajik,” ujar sang piatu lalu melempar cincin itu ke udara. dengan sekejap mata berbagai jenis makanan sudah tersedia di hadapan mereka. “yak, dimanau kaba bulih cincin itu cung?” ujar sang nenek terheran- heran. “inilah nik pulihan aku berayak dengan burung putih,” jawab sang piatu. setelah hari itu, sang piatu dan neneknya tidak pernah kelaparan lagi. perut mereka selalu diisi dengan berbagai jenis makanan lezat. pagi itu sang piatu meminta pakaian yang terbuat dari katun dari cincin secintau adau. “ayi cung, ndak kemanau kaba lah bebaju alap ni?” tanya nenek heran. “aku ndak berayak dengan rajau kuday nik,”jawab sang piatu. raja ke rajaan kecil itu memiliki putri bungsu yang sangat cantik. kecantikannya terkenal di seluruh negeri. namun sayangnya, putri bungsu sangat jarang terlihat keluar dari istana. hanya orang- orang tertentu yang datang ke istana yang dapat melihatnya. banyak pemuda di kerajaan penasaran dengan wajah asli putri bungsu. termasuk sang piatu. “arau cung, amau kaba ndak berayak dengan rajau. tapi kalu tinggalkah ajau cincin tu. kalu diambik au cincin kaba tu ngan rajau,” ujar nenek khawatir. “uyy nidau nik. kengengapau pulau rajau ngambik au.” “kaba nyesal kelau. amau ndak pegi, tinggalkah ajau cincin tu,” ujar nenek memperingatkan. “nidau nik. pukuk au aku ndak pegi kuday nik. cincin ke ku batak,” sang piatu bersikeras untuk pergi ke istana membawa cincin itu. akhirnya nenek hanya bisa mengiyakan. “uyy sang piatu lah sampai ni. ngapau kedusun sang piatu?” tanya raja saat melihat sang piatu berjalan menuju kearahnya. “ay, berayak ajau” jawab sang piatu. “apau, melah masuk keghumah namaunyau, ” ajak raja kepada sang piatu untuk masuk ke istananya. sang piatu pun mengikuti langkah raja untuk masuk ke istana yang cukup besar itu. “yak, rajau iluk nggetap akap- akapan ni,” ujar sang piatu saat sudah duduk santai di dalam ruang tamu istana. “tapau kedigetapkah sang piatu?” jawab raja sambil tertawa. “yak, bemasak,” jawab sang piatu. “lum bediyau lukak amau akap-akap ni sang piatu,” raja menjawab dengan santai. “nah, amau lum bediau lukak au, bentang kelah tikagh di sini,” ujar sang piatu. “batan tapau tikagh tu? ini kursi adau amau ndak duduk,” ucap raja heran. “pukuk au bentang kelah kuday tikagh besak disini,” sang piatu bersikeras. rajapun menurutu keinginan pemuda yang ada dihadapannya itu. ia memanggil pelayannya untuk menggelar tikar di sana. “nah cincin, rajau ni ndak njamu kecik. ndak nasi gulai, ndak ulam ndak lukak. pukuk au penuhi luan rajau ni,” ujar sang piatu. lalu, melempar cincin secintau adau miliknya. tak berselang lama, makanan lezat dengan berbagai menupun memenuhi tikar yang sudah digelar. raja membuka mulutnya berdecak kagum. “bagaimana makanan sebanyak ini muncul dalam 1 detik,” mungkin itu yang ada salam pikiran raja saat itu. “yak yak kaba ni adau cincin secintau adau amau luk ini,” tebak raja. “nidau pukuk au, ini ni pengenjuk yang maha kuasau,” elak sang piatu. karena makanan yang ada sangat banyak, akhirnya raja memanggil semua pelayan untuk makan bersama mereka. karena sangat kagum dengan cincin yang dimiliki sang piatu, rajapun menginginkan cincin ajab itu. raja sudah berulang kali merayu sang piatu agar mau memberikan cincin itu kepadanya, namun, sang piatu selalu menolak. akhirnya ia menyuruh putri bungsu untuk menjenguk sang piatu dan merayunya agar ia mau memberikan cincin ajaib itu kepada raja. “sang piatu minjam aku ndak semalam cincin kaba tu,” ujar putri bungsu dengan sedikit malu- malu. “yak jangan. inilah permakan kami dengan ninik,” tolak sang piatu. “uy semalam ajau,” putri bungsu terus bersikeras. sang piatu pun merasa tidak enak dengan putri bungsu dan akhirnya memberikan cincin miliknya kepada putri bungsu. “nah pinjamlah, tapi jangan lamau. amaulah duau malam ndak kulanjui tini,” ujar sang piatu sambil memberikan cincin secintau adau dengan berat hati. “yak gilah. lanjui ajau amaulah duau malam kelau,” putri bungsu langsung memakai cincin itu di jari manisnya kegirangan. akhirnya sang piatu pun pulang dengan perasaan gelisah. ia takut nenek akan marah jika tau cincin itu sudah tidak ada di tangannya lagi. “ay luk apau makan malam ni tini, baghih nian kemarah ninik tini kelau,” ujar sang piatu. “mapai balik kaba ni sang piatu,” ujar nenek saat melihat sang piatu dari kejauhan. nenek langsung melihat kearah jari jemari sang piatu. jarinya kosong. tidak terlihat tanda- tanda cincin secintau adau di sana. “manau cincin kaba?” tanya nenek. “uy, itulah nik aku bingung ni. tadi beteri tu ndak minjam cincin aku, madak pulau aku amau ndik minjaminyau,” jujur sang piatu. “itulah kaba tu. caklah aku kicikkah, jangan dibatak,” ujar nenek. “uy ni cubau dighi pikir amau bukan luk itu ndik ke endak beteri tu njenguk aku, amau bukan gegara cincin itu tadi ndik kebetemu aku dengan beteri tadi nik. mangku ndik kelamau kataunya tadi, duau malam kelau kulanjui titu,” ujar sang piatu masih mencoba membela diri. “udim cungg ay. kaba tu lah ditipukahnyau,” ujar nenek tak habis pikir dengan jalan pikiran sang piatu. 2 hari telah berlalu sang piatu belum juga mengambil cincinnya dari raja. “lanjuilah cung cincin kaba tu. lah pisak kitau ni mikirkah makan ni cung tupau kekitau makan petang ni,” ujar nenek. “kelau kuday nik,” tolak sang piatu. sang piatu merasa tidak enak mengambil cincin itu dari raja, akhirnya ia memutuskan untuk kembali menjenguk burung putih dari pada mengambil cincinnya yang dipinjam raja. “nidau lemak makan nasi putih ajau ni cung, lanjuilah kuday cincin kaba tu mangku pacak lemak jugau makan ni,” keluh nenek kepada sang piatu saat mereka sedag menyantap sarapan mereka. “arau nik amau luk itu. udim makan ni aku kenjenguk burung putih agi. kitau ni dang tekedan ndik ngapau mintak tulung agi,” ujar sang piatu. setelah makan, sang piatu pun berangkat ke hutan untuk menjenguk burung putih. setelah sampai lagi di pemandian, sang piatu mandi disana. tanpa sang piatu sadari, setelah ia mandi di pemandian itu kulitnya makin putih dan bersinar. sang piatu menjadi terlihat jauh lebih tampan dari sebelumnya. setelah selesai mandi, sang piatu melanjutkan perjalanannya. saat sampai ternyata burung putih sudah menunggu kedatangannya di depan pintu rumah besar itu. “naiklah ding.” sang piatu pun masuk kerumah itu mengikuti burung putih. “makanlah kudai. keruan dengan aku kaba tu lah aus lah lapagh,” tawar burung putih kepada sang piatu. setelah sang piatu selesai makan, burung putih membawa seekor anak anjing berwarna putih. “nah, ini adau anjing sikuk. anjing ini mesingkah tanci ngan mas. jadi, amau kaba dang ndak tanci, kicikkah ajau ngan diau,” ujar burung putih sambil memberikan anjing lucu itu kepada sang piatu. tak lama kemudian sang piatu akhirnya beranjak pulang. “yak, tapau kaba pitung tu?” tanya nenek saat sang piatu sudah sampai di gubuk mereka. “inilah anjing kecik nik. pengenjuk burung putihlah tini,” ujar sang piatu penuh senyuman. “yak, tapau gati au titu cung. ndak di njuki makan mangku anjing itu, makan kitau ajau untung adau becincin giadak agi tini,” ujar sang nenek lesu. “kuday nik, amau dighi ndak nginak au, mintak kuday tukup kendang dighi tu,” pinta sang piatu. “atan tapau cung?” tanya nenek penasaran. “atan badah au mising nik,” jawab sang piatu polos. “yak, jangan cung busuk amau di ajung diau mising di sini,” larang nenek. “uy, nidau nik. kinaklah kelau tapau dimisingkahnyau.” “uy, jangan nian cung. busuk kendang aku tu kelau,” namun sang piatu tidak mengindahkan larangan nenek. “nah anjing misinglah di dalam kendang ninik ni, penuhi setini,” ujar sang piatu. tak lama kemudian anjing itu buang air besar di sana.namun anehnya bukan kotoran yang ia keluarkan. melainkan koin emas yang sangat banyak. “nah, nik. pacak kitau belanjau batan makan malam ni,” ujar sang piatu bangga. “adak nian cung. acak luk itu anjing kaba ni.” “itulah nik pengenjuk burung putih.” esok harinya pagi- pagi sekali sang piatu sudah siap dengan pakaian rapinya. “nik, aku ndak kedusun kudai. ndak melanjui cincin aku di rajau,” pamit sang piatu kepada nenek. “gilah cung, tapi jangan amau ndak mbataki anjing,” ujar sang nenek. “yak, ngapau nik nidau bulih?” tanya sang piatu heran. “way, kalu lengit. kalu diambik au pulau dengan beteri anjing kaba tu cung!” “nidau nik. kutinggalkah nilah kalu lengit. pukuk au nik aku ndak pegi anjing ni ndak aku batak. dighi tetenang ajau,” ujar sang piatu bersikeras. “ay, kendak kabalah cung cung,” ujar sang nenek pasrah. setelah sampai di istana, sang piatu pun dijamu oleh raja dengan berbagai jenis makanan lezat. “ngapau kaba mbataki anjing ke dalam ni sang piatu. kalu mising di sini tini kelau,” ujsrnya. “yak, untung pulau amau diau mising di sini, anjing ni misingkah mas rajau. nah rajau, tujuan aku saghini kesini ni ndak melanjui cincin aku,” ujar sang piatu. “luk ini ajau sang piatu, amau anjing kaba ni ngenian misingkah emas, mangku aku balikkah cincin kaba. tapi amau anjing kaba tu nidau misingkah tanci, mangku kaba aku bunuh. tapau pembuung,” ujar sang raja. “jadi, amau luk itu, bentang kelah tikagh. aku ajung anjing ni mising di tikagh.” raja pun memanggil pelayannya untuk menggelar tikar yang paling besar di istana. “misinglah anjing penuhi luan rajau ni.” anjing itu pun mengelilingi tikar yang sudah di gelar raja. tak lama kemudian tikar itupun sudah dipenuhi dengan koin emas yag berlimpah ruah. “nah, luk manau rajau. manau cincin aku?” sang piatu menagih janji raja. “nah sang piatu, luk ini ceritaunyau. anjing kaba tu minjam aku kudai. aku ni cak rajau. masau raja miskin. semalam ajau. udim tu kaba lanjui cincin,” ujar sang raja memberi penawaran baru. “jangan pembuung rajau. amau pembuung, rajau tulah ndik ngasi. nah, ambiklah anjing. tapi serempak dengan cincin kelau balikkah,” sang piatu pun memberikan anjingnya dengan suka rela. sang piatu pulang masih dengan perasaan gelisah. “luk manau tini, cincin nidau mbalik, anjinglah diambik pulau.” di sisi lain, putri bungsu sudah mulai tertarik dengan sang piatu. karena, semakin hari sang piatu semakin tampan. tidak hanya itu, sang piatu juga memiliki barang -barang ajib yang bisa mengabulkan apapun keingnannya. “uy ninik, mintak maaf nian. anjinglah dibeteri cincin lum pulau dibalikkah nyau,” ujar sang piatu takut- takut. “itulah. acaklah aku kicikkah. kaba tu diyau ndak kendak kaba ajau,” kesal nenek. dua hari berlalu, sang piatu dan nenek sudah merasa sangat kelaparan. singkong di hutan belum memiliki umbi. sedangkan sayur-sayuran sudah sangat sulit ditemukan. “ay nik, nidau ngasi luk ini. aku ke njenguk rajau kudai. ndak ku lanjui cincin ngan anjing,” ujar sang piatu. “iluk nian cung. alang kelapagh busung ni.” sang piatu pun berangkat ke istana. ia berjalan dengan lesu. karena tubuhnya sudah tidak memiliki tenaga. “rajau lah duau aghi cincin ngan anjing di pinjam ni. balik kah kudai. aku ngan ninik ni lah pisak mikirkah makan ni,” ujar sang piatu pada raja saat sudah sampai dihadapannya. “yak, bekelau pulau sang piatu. lusau-lusau aku balikkah,” raja menolak mengembalikan cincin dan anjing. berkali -kali sang piatu meminta cincinnya, namun raja terus bersikeras tidak ingin mengembalikannya. akhirnya sang piatu beranjak pulang dari istana dengan tangan kosong. “luk apau cung, di balikkahnyau dengan rajau?” tanya nenek saat sang piatu masih cukup jauh darinya. “ay nidau nik. lah payah aku ngicikkhnyau, tapi tapau amau jemau buntu nidau kedidenghgi,” jawab sang piatu lesu. “apau luk apau titu cung?” tanya nenek khawatir. “tunggu nik, aku keberayak sekali agi dengan burung putih nik,” ujar sang piatu. esok harinya setelah sampai di rumah burung putih, seperti biasanya sang piatu disuguhi banyak makanan oleh burung putih. setelah makan, burung putih membawa sebuah kelintang. “nah, ini gung udim ini kaba jangan berayak agi ngan aku. tabuhlah dengan kaba kelau. kekeramatannyau ni, sapau yang nenghi tini nari amau kaba ndik berenti nabuh tini, ndik keberenti nari jemau yang ndeghg au ni,” jelas burung putih. “kaba pegilah keghuma rajau, dapat galau kekendaan kaba kelau. keruan dengan aku kaba tu dang tekedan,” lanjut burung putih. dalam perjalanan pulang, sang piatu memukul kelintang yang diberikan burung putih kepadaanya. dilihatnya dari kejauhan nenek menari -nari di depan gubuk mereka. “uy nik, alang keriang dighi ni,” ujar sang piatu saat sudah sampai di depan gubuk sambil terus membunyikan kelintang. “uy cung, gheghadulah kaba nabuh titu. aku ni ndik tau gheghadu,” teriak nenek sambil terus menari tarian andun mengikuti irama ketukan kelintang sang piatu. “yak, gheghadu nik amau ndak gheghadu,” ujar sang piatu sambil tertawa. “uy, nidau pacak gheghadu tini. aku ni lah tekemih- kemih,” ujar sang nenek frustasi sampai tubuhnya tak mampu lagi menari dan terduduk, namun tangannya terus melenggang dengan ayu. akhirnya sang piatu berhenti memukul kelintang itu. “nduk alang ke padu titu cung. satu tedengagh titu, nidau tau agi gheghadu. jangan agi cung kaba tabuh titu,” ujar sang nenek. “yak, ngenian nik?” ujar sang piatu sambil terus tertawa. lalu memukul kelintang itu lagi. “uy, jangan nian agi cung. mintak maap nian.” sang piatu tertawa terpingkal -pingkal melihat neneknya menari andun dengan muka yang terlihat tersiksa. “nah, tunggu bagian rajau. amau luk itu nik, dapat cincin aku. amau luk itu, akulah ndak pegi mbak kini nik ndak ke dusun,” ujar sang piatu riang. “arau namaunyau. jangan kuday tabuh titu, tapi cung, amau aku masih kedengghgan,” mohon nenek. kira kira sudah cukup jauh dari gubuk mereka, sehingga suara kelintang itu tidak terdengar lagi oleh nenek, sang piatu mulai memukul kelintang dengan sangat keras. orang- orang yang sedang menjemur padi di pinggir jalan pun menari andun mengikuti irama kelintang sang piatu. padi- padi itu berhamburan ditanah. orang- orang terlihat bingung. “apa yang terjadi, mengapa aku tak bisa berhenti menari,” kira kira itulah yang ada dalam pikiran mereka. sang piatu terus memukul kelintangny. sampai ia berdiri di depan istana, ia melihat raja, permaisui, dan putri bungsu melenggang menari dengan indah di halaman istana. “ampun sang piatu. jangan agi tabuh titu,” mohon raja saat melihat sang piatu memukul- mukul kelintang ditangannya dengan santai. “yak, ngapau?” sang piatu pura- pura tidak tau. “kami ni nidau tau gheghadu agi. jangan nian agi tabuh titu sang piatu,” ujar raja masih berusaha memohon kepada sang piatu. namun sang piatu masih memukul -mukul kelintang. tidak mempedulikan kata- kata raja. “nggup eh aku gheghadu. tapau, rajau tu pembuung. narilah kudai, aku nginaki,” ujar sang piatu sambil tersenyum kegirangan. “amau kaba gheghadu nabuh titu sang piatu, cincin kaba ku balikkah. anjing kaba ku balikkah. kaba nukar aku jadi rajau,” raja memberi tawaran sambil terus menginjit injitkan kakinya menari andun. namun sang piatu masih tidak mempedulikannya. “ay nidau ay, tuapau diyau titu,” ejek sang piatu sambil tertawa. ia terus memukul-mukul kelintang. kaki orang- orang yang menari di sana sudah melemas. tangan mereka pun mulai terasa pegal. “pukuk au amau kaba gheghadu nabuh titu, cincin kaba ku balikkah, anjing kaba ku balikkah, kaba nukar aku jadi rajau, beteri ke kutikahkah dengan kaba,” raja masih bersikeras merayu sang piatu dengan penawaran penawarannya. “luk apau rajau pembuung apau ndik?” sang piatu memastikan. “uy nidau, ngenian aku tu gheghadu kelah nabuh titu,” sang piatu pun berhenti memukul kelintang miliknya. raja bernafas lega. tubuhnya sudah terasa lemas karena menari terlalu lama. orang orang yang berada di sekitar istana di kumpulkan oleh raja. “mulai saghini sang piatu ni lah betunang dengan beteri bungsu. diau kenggatikah aku jadi rajau,” ujar raja membuat pengumuman. raja memberikan cincin dan anjing sang piatu dan sang piatu pun pamit pulang ke gubuknya untuk mengajak nenek tinggal bersamanya di istana. setelah sampai di istana, raja mengundang semua rakyatnya untuk mengukuhkan sang piatu menjadi raja di ke rajaan kecil itu dan menggelar pesta pernikahan sang piatu dengan putri bungsu.(*) bionarasi penulis lathifah khairun nisa adalah anak pertama dari dua bersaudara. dia lahir pada bulan oktober tahun 2007 tepat nya tanggal 5 oktober di manna, kabupaten bengkulu selatan, provinsi bengkulu. penulis merupakan pelajar sma negeri 1 bengkulu selatan kelas x (10). dia memiliki hobi menulis sejak di bangku kelas vii {7}. sekarang dia sudah berhasil menerbitkan ceritanya yang pertama menjadi sebuah novel yang berjudul “alanta.” novel alanta ini terbit tahun 2022 pada bulan januari lalu yang diterbitkan oleh penerbit perkasa satu. kalau kalian penasaran sama lathifah atau mau kenal lebih dekat dengannya. kalian bisa kunjungi akun social medianya di bawah ini: instagram:@lathifahkhairun @potatogilrs.story wattpad :@lathifahkhairun tiktok :@_potatogirls
1
2
3
4
»
Last
Tag
# opini
# cerpen
# sang piatu
Share
Koran Terkait
Kembali ke koran edisi RADAR BENGKULU, SENIN 1 JANUARI 2024
Berita Terkini
Punya Kerutan di Wajah, Ini 6 Cara Menghilangkannya secara Medis
Kesehatan
11 menit
Calon Wakil Walikota Bengkulu, Sukatno Kuasai Panggung Debat
Info Politik
41 menit
Apakah Boleh Istri Ingatkan Suami Dengan Cara Tegas untuk Laksanakan Sholat?
Berita Utama
3 jam
BSI Maslahat Jalankan Program Pesantren Sehat 2024 di Pesantren Baitul Quran Depok
Nasional
4 jam
Hari Pahlawan, Pemkab Minta Masyarakat Kibarkan Bendera Merah Putih
Seluma
6 jam
Berita Terpopuler
Rahasia Syukur Kepada Allah
Tausyiah
20 jam
Penetapan Perda RTRW 2025, Satu Kendala Akan Diselasaikan Desember 2024
Bengkulu Selatan
20 jam
Perbandingan Spesifikasi Mesin Land Rover Defender vs Toyota Land Cruiser, Mobil Terbaik untuk Off-road?
Teknologi
20 jam
DPRD Minta OPD Pemprov Percepat Realisasi Program Prioritas untuk Masyarakat
Berita Utama
7 jam
Niat Ikhlas Karena Allah SWT
Tausyiah
20 jam
Berita Pilihan
Punya Kerutan di Wajah, Ini 6 Cara Menghilangkannya secara Medis
Kesehatan
11 menit
Kapolsek Enggano Gelar Safari Jum'at di Masjid Jamik Nurul Falah Enggano
Bengkulu Utara
6 jam
FTT EXPO UINFAS Bengkulu 2024 Ajang Kreasi dan Inovasi Mahasiswa
Pendidikan
6 jam
Waspada, Ini Ciri-Ciri Alergi yang Harus Kamu Pahami
Kesehatan
6 jam
Kabar Duka, Kadis DLH Benteng Tutup Usia
Bengkulu Tengah
6 jam