Pilihan yang Berat Bagi Laki-Laki, Nafkah Istri atau Ibu Kandung
Seorang pria beristri biasanya mengalami dilematis disaat harus mengutamakan dua orang yang dicintai, yaitu ibu kandung dan istrinya-ilustrasi-
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ… وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya, “Takutlah kepada Allah perihal perempuan karena kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan menghalalkan farji mereka dengan kalimat-Nya… Kalian berkewajiban memberi makan dan pakaian secara baik.” (HR Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
Di tengah dilema ini, seseorang pada satu kondisi tertentu dihadapkan pada situasi sulit yang harus memilih. Pilihan itu akhirnya diambil dengan berat hati, dan kadang perasaan bersalah.
Lalu bagaimana sebenarnya dalam pandangan Islam? Sebenarnya amanah untuk memperlakukan ibu/orang tua dan istri dapat diamalkan sekaligus tanpa mengabaikan salah satunya. Kedua dalil ini tidak perlu dipertentangkan. Ini yang disebut tariqhatul jam‘i.
Imam An-Nawawi pernah diminta fatwanya perihal seseorang yang memiliki istri dan ibu. Apakah ia boleh mengutamakan istri daripada ibunya?
Menurut Imam An-Nawawi, seseorang tidak berdosa ketika mengutamakan istri daripada ibunya sejauh ia memenuhi kewajiban nafkah bila nafkah ibunya berada di dalam tanggung jawabnya. Tetapi jika harus memilih, ia dapat mengutamakan nafkah istrinya dengan tetap menjaga perasaan ibunya.
لا يأثم بذلك إذا قام بكفاية الأم إن كانت ممن يلزمه كفايتها بالمعروف، لكن الأفضل أن يستطيب قلب الأم وأن يفضلها، وإن كان لا بد من ترجيح الزوجة فينبغي أن يخفيه عن الأم
Artinya, “Seseorang tidak berdosa dengan tindakan itu ketika ia mencukupi (nafkah) ibunya jika ibunya adalah salah seorang yang wajib dinafkahi dengan baik. Tetapi yang utama adalah membahagiakan (menjaga perasaan) dan mengutamakan ibunya. Jika memang harus mengutamakan nafkah istri daripada ibu, maka seseorang suami harus menyembunyikan tindakan tersebut dari ibunya.” (Al-Imam An-Nawawi, Fatawal Imamin Nawawi, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2018/1439], halaman 150).