Sebenarnya pemilik akun Fufufafa bisa langsung buka dada: itu memang akun saya. Saat itu umur saya sekian tahun. Suasana saat itu lagi panas: ayah saya lagi bersaing keras untuk jabatan presiden. Wajar kalau saya terpancing membela papa saya.
Lalu minta maaf kepada Prabowo. Secara pribadi. Terbuka. Tinggal Prabowo bagaimana. Memaafkan atau tidak.
Kalau saya jadi Prabowo akan saya maafkan. Anggap saja itu bumbu-bumbu pedas menjelang pemilu. Apalagi, setelah itu, papanya mau menggandeng Prabowo yang dikalahkannya. Dijadikan Menteri Pertahanan.
Bahkan kelak, di Pilpres awal 2024, papanya mempertaruhkan segala-galanya agar Prabowo jadi presiden. Pun sampai bersitegang dengan partainya sendiri beserta ketua umumnya.
Seandainya saya Prabowo, saya akan menganggap itu keusilan seorang yang baru gede yang terlalu bangga pada ayahnya. Banyak anak belum matang akan seperti itu. Yang penting bagaimana setelahnya.
Selesai. Mestinya.
Tapi tidak selesai. Tidak ada yang mau mengakui siapa pemilik akun Fufufafa. Justru Menkominfo yang menegaskan bahwa itu bukan milik Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi.
Ketika didesak siapa pemilik sebenarnya, sang menteri mengatakan masih didalami.
Sang menteri pun mati kutu ketika pertanyaan dibalik: masih didalami kok sudah memastikan bukan milik Gibran.
Masalah Fufufafa pun menjadi pupupapa. Lebih rumit. Ada karakter yang kurang baik di perkembangannya.
Yang jelas saya pun lega: akhirnya menulis juga tentang Fufupapa. Tentu tidak memuaskan yang bertanya: kok saya bukan kompor. Saya tidak bisa ikut membuatnya lebih panas.
Ketika selesai menulis naskah ini saya melongok ke luar jendela. Ini jelas bentuk jendela pesawat Garuda. Saya lihat ujung sayapnya. Ini jelas ujung sayap Garuda. Ini bukan pesawat pribadi yang foto jendela dan ujung sayapnya tersebar luas di medsos.
Saya melongok lebih ke bawah. Terlihat Danau Toba dari ketinggian. Agak samar. Berarti 45 menit lagi tiba di Banda Aceh sebagai anggota MWA Universitas Terbuka.(Dahlan Iskan)