Rasa suka cita yang dialami oleh keluarga Nabi Ibrahim AS untuk berkurban didasarkan kepada pemahaman yang benar tentang nilai-nilai kehidupan. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini: anak, istri, harta, pangkat dan jabatan semuanya datang dari Allah SWT dan pasti akan kembali kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, bagaimanapun modelnya perintah Allah SWT harus dilaksanakan sebaik -baiknya tanpa melihat untung dan rugi, enak tidak enak, mudah dan sulit, maupun berat dan ringannya.
Sikap seperti inilah yang menunjukkan jati diri Nabi Ibrahim AS sehingga dianugerahi oleh Allah SWTsebagai imam, sebagai pemimpin, sebagai teladan dan idola buat semua ummat. Kehormatan tersebut tidak mungkin akan dapat diraih oleh Nabi Ibrahim AS tanpa didampingi oleh istri yang salihah dan anak yang saleh, seperti dilukiskan dalam QS. Al-Baqarah (2): 124 yang artinya:
“Perhatikanlah ketika Allah SWT menguji Nabi Ibrahim AS, dengan berbagai kalimat perintah dan harapan, maka semuanya dapat diselesaikan dengan sempurna. Maka Allah berfirman: Sesunggunya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia, Ibrahim berkata : dan saya mohon juga buat keturunanku. Allah berfirman: Janjiku ini tidak mengenai orang-orang yang zalim”
Di zaman modern saat ini, tampak jelas dan tidak terbantahkan bahwa logika lingkungan cinta duniawi telah merebak dan mewabah mencemari perilaku hidup dan kehidupan manusia. Dimana manusia dipandang sebagai obyek, bukan sebagai subyek. Kadar dan nilai manusia ditentukan seberapa jauh nilai materi yang dimilikinya. Tinggi rendahnya nilai kehormatan manusia tergantung dari label-label keduniaan yang melekat pada diri manusia itu sendiri.
Maka wajarlah jika manusia zaman sekarang ini merasa asing bahkan bingung hidup di atas bumi yang melahirkannya. Oleh karena itu, penyembelihan hewan kurban yang dimulai hari ini sepantasnya membuat kesadaran baru kepada kita untuk memahami akan hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Allah SWT, pada tata aturan yang sempurna dan hukum-hukum adilnya menjelmakan sangsi-sangsi seimbang dalam kekuasaan Allah SWT yang tidak akan pernah tertipu kepalsuan.
Namun sayang makna dari kerelaan berqurban masih kurang mendapat perhatian dan penghayatan yang memadai, karena masih banyak di antara yang berperan di bundaran dunia fana ini, cuma menanti pengorbanan orang lain.
Ajaran kurban dengan demikian jelas menunjukkan bahwa keberagamaan (religiositas) tidak hanya diejawantahkan dalam sekedar mempraktikkan kegiatan-kegiatan ritual ibadah belaka. Melainkan beragama adalah juga melaksanakan tindakan-tindakan sosial berupa membangun kesejahteraan umat melalui pengurbanan sebagian kepentingan diri untuk kepentingan bersama yang lebih besar.
Hal ini tampak jelas dalam dalam surat Al-Kautsar. Dimana perintah melaksanakan kurban dikaitkan dengan perintah melakukan salat, yang berarti bahwa beragama tidak akan cukup dengan melakukan ritual-ritual peribadatan kepada Allah SWT seperti shalat saja, tetapi haruslah diikuti dengan kebajikan dan keterlibatan sosial dalam memajukan kemaslahatan masyarakat.
Pada awal surat Al-Baqarah, ketika mendeskripsikan sifat-sifat orang yang bertakwa, Allah SWT menegaskan bahwa takwa itu ditandai dengan tiga kualitas pribadi. Yaitu iman, melakukan ibadah seperti salat, dan melaksanakan infak, yakni berbagi sebagian dari sumber daya yang dianugerahkan Allah. Dalam surat Al-Ma’un ditegaskan
bahwa orang yang tidak memiliki komitmen dan kepedulian sosial yang tercermin dalam keberpihakan untuk membantu orang-orang tidak berdaya yang dalam surat itu diwakili oleh anak yatim dan orang miskin dipandang sebagai orang yang membohongi agama dan karena itu salat yang dilakukannya menjadi suatu yang sia-sia lantaran tidak diwujudkan dalam tindakan-tindakan nyata dalam masyarakat.
Hadirin hadirat yang berbahagia,
Dengan demikian, melalui kurban ini, Islam mengajarkan bagaimana membangkitkan kepekaan dan kepedulian sosial kita kepada sesama saudara kita yang lain. Yaitu membantu terbinanya persaudaraan yang hakiki, cinta kasih dan tanggung jawab antara sesama umat, serta terwujudnya pemerataan pendistribusian protein hewani untuk meningkatkan gizi masyarakat dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, sehingga dapat meningkatkan pengabdian-nya kepada Allah SWT dan sesamanya.
Sebagai penutup dari uraian khutbah ini, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Seseorang dituntut berkurban, baik harta, jabatan dan kedudukan, bahkan jiwa sekalipun dan nilai pengurbanan tidak dilihat dari kuantitas, tetapi dari niat dan kualitas ketulusan dan keikhlasan.
2. Makna lain dari berkurban adalah upaya mereformasi diri sendiri dengan jalan menyembelih serta membunuh watak dan penyakit hati yang berberpotensi menggerogoti diri manusia.
3. Ibadah kurban mengandung aspek ilahiah, disamping aspek insaniah. Dalam aspek insaniah (sosial) adalah menumbuhkan kekentalan persaudaraan (silaturrahim) dan meningkatkan protein dalam rangka mendorong semangat pengabdian kepada Allah SWT dan sesama manusia lainnya.